Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
ArtikelBermartabatHeadlineKesehatanMedanSumut

Benget Silitonga : Hati Yang Gembira Adalah Obat Dan Jangan Pernah Remeh Dengan Covid-19

×

Benget Silitonga : Hati Yang Gembira Adalah Obat Dan Jangan Pernah Remeh Dengan Covid-19

Sebarkan artikel ini

mediasumutku.com | MEDAN – Ada banyak orang yang sudah menuliskan pengalaman pribadinya dalam ‘berperang’ melawan virus Covid-19. Sama halnya dengan Komisioner KPUD Sumut, Benget Silitonga. Ia menuliskan pengalamannya tersebut di dinding Facebook miliknya.

Benget Silitonga memuat pertanyaan ini dalam ulasannya di media sosial. Mengapa Covid-19 selalu dikaitkan dengan maut atau kematian? Bukankah maut atau kematian bisa menyergap kita kapan dan dimana saja? Saat kita sehat, tidur nyenyak, duduk, bekerja atau berdoa kusyuk di rumah ibadah? Bukankah kematian senantiasa membayangi hidup ini?

Benar, maut atau kematian bisa datang kapan dan dimana saja dalam dunia fana ini. Namun, lebih kurang 14 hari menghadapi serangan Covid-19, sungguh menjadi pengalaman luar biasa yang membawaku seolah begitu dekat dengan maut. Ah, bisa jadi ini hanya respon seorang penyintas Covid-19 yang galau, cemas, dan takut secara batiniah dengan fakta jutaan nyawa yang melayang di seantero jagad karena ganasnya Covid-19. Kecemasan akan menjadi korban berikutnya????

Benget menceritakan, bermula dari sepulang mensupervisi dan memonitor pelaksanaan pemungutan suara ulang Pilkada 2020 di salah satu daerah di Sumut. Aku mengalami radang tenggorokan dan badan meriang. Awalnya aku menduga hanya flu biasa akibat kelelahan. Aku kemudian mengonsumsi obat yang biasa diminum banyak orang saat flu; panadol dan antibiotik amoxilin.

“Namun setelah dua hari berlalu, tanggal 28 April, radang tenggorokan dan demam tak juga membaik. Hari itu juga aku putuskan melakukan test swab antigen drive thru di Lapangan Merdeka Medan. Hasilnya positif. Aku masih berprasangka baik, bahwa hasil positif swab antigen tersebut disebabkan karena flu dan meriang yang memang aku alami,” jelasnya.

Pada tahap pemeriksaan Antigen tersebut, Benget ingin berhenti. Namun kemudian sadar, dan tak boleh hanya berpedoman dengan test swab antigen. Benget kemudian putuskan, besoknya, 29 April, untuk melakukan test PCR sebagaimana SOP pencegahan Covid-19 yang berlaku umum dan juga di tempat kerja KPU Sumut.

“Aku test swab PCR di Puskesmas Tanjung Morawa. Ceritanya, kebetulan di sana ada Marlina Butar Butar, kakak istriku yang bekerja sebagai perawat dan menyarankan test dilakukan di sana saja, supaya nanti apapun hasilnya bisa dikomunikasikan dan ditangani cepat dengan dokter yang di Puskesmas. Dalam pemikiranku, benar juga. Biasanya jika ada paramedis yang kita kenal di Pusekesmas atau Rumah Sakit, maka proses penanganannya kelak bisa terbantu lebih cepat,” tegasnya.

Sejak hasil test swab antigen diketahui positif, Benget Silitonga sudah memutuskan isolasi mandiri di rumah untuk menjaga jangan sampai istri dan anak-anak tertular. Kebetulan di rumah ada 1 kamar kosong, yang memiliki akses kamar mandi dan selama ini diperuntukkan bagi tamu yang berkunjung.

“Aku isolasi di kamar tersebut sambil menunggu hasil test PCR yang baru akan keluar 1-2 hari kemudian. Dalam penantian hasil test PCR kondisi radang tenggorokan dan demamku tak juga membaik. Malah suhu tubuh naik turun. Di pagi hari suhu tubuh bisa di 37,8°C, kemudian turun siang hari ke 36,5. Namun di malam hari kembali naik ke 38,5°C. Begitu seterusnya naik turun sepanjang hari. Selain demam, badan juga lemas, ngilu nyaris di semua persendian, seolah tulang-tulang mau lepas. Aku juga mulai kehilangan rasa yang mengakibatkan selera makan dan minum menurun,” paparnya.

***
Sore hari, tepat tanggal 1 Mei, hasil test PCR keluar. Membaca hasil test tersebut, sontak Benget merinding, bulu kuduk berdiri, tangan gemetar, rasanya mau ambruk, pikiran langsung menerawang hal-hal buruk tentang Covid-19.

“Sebelumnya aku masih optimis hasil test PCR akan negatif, karena aku merasa hanya mengalami kelelahan dan demam biasa. Nyatanya hasil test PCR menyebut aku positif Covid-19. Aku menghela napas panjang, berdoa, mencoba kuat. Namun yang segera terlintas kemudian berputar di kepala adalah bayangan kematian massif akibat Covid-19 di seantero jagad, khususnya yang menyergap saudara dan rekan yang kukenal,” katanya.

Tak sadar air mataku menetes, lanjut Benget. Istriku Leyantina Lya dan putriku Priyanka yang mengintip di sela pintu yang sedikit terbuka, kulihat menangis sesunggukan. Akupun makin terpukul. Tatapanku kosong. Aku seolah mendapat vonis; bersiap menghadapi kematian! Segera kuhubungi rekan di kantor menginformasikan supaya diteruskan kepada orang-orang yang pernah kontak fisik denganku, untuk dilakukan tracing.

“Sore jelang malam, dalam kepanikan, aku, istri, kakakku Marlina, dan Dokter Aunatika Lubis, yang melayani di Puskesmas Tanjung Morawa berembug via whatsapp, apa langkah penanganan yang harus dilakukan. Apakah aku harus isolasi di rumah sakit atau boleh isolasi mandiri di rumah,” tandasnya.

Istri dan anak-anak meminta Benget Silitonga isolasi di rumah, harapannya tentu supaya mereka dapat melihat dan merawat langsung walau dengan prokes yang ketat. Mereka tidak siap Benget Silitonga isolasi di rumah sakit. Sementara dokter ingin memastikan dulu bagaimana kondisiku.

“Aku jelaskan demam yang kualami dan kondisi tubuh yang lemah namun masih bisa berdiri dan berjalan, serta selera makan dan minum yang menurun. Dokter lalu bertanya tentang pernapasan, apakah ada sesak dan berapa tingkat saturasinya. Aku jelaskan pernapasan masih baik, belum merasakan ada sesak napas. Dokter menyarankan supaya Oksimeter disediakan malam itu juga guna mencek kadar oksigen dalam darah (saturasi) setiap jam secara reguler,” tegasnya.

Benget menyampaikan kepada Dokter bahwa di rumah ada tersedia 1 tabung oksigen kecil, yang kondisinya baik dan bisa digunakan jikalau ada masalah pernapasan. Tabung oksigen tersebut memang sudah lama tersimpan di rumah digunakan sebagai pengobatan darurat terhadap mendiang kakakku yang dulu menderita sakit jantung. Sepeninggal kakakku, tabung oksigen tersebut lama tak digunakan lagi. Pernah digunakan saat Opung Boru (ibunya mamaku) sakit di Tarutung sekitar tahun 2004 dan kemudian setelah itu, terakhir sekitar tahun 2019 dipinjam keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan.

“Secara halus, aku sesungguhnya bermohon kepada Dokter agar diberi kesempatan isolasi mandiri di rumah saja. Apalagi kemudian, saat itu, ketika dicoba mencek ke sejumlah rumah sakit, ternyata ketersediaan hunian kamar rumah sakit untuk isolasi pasien Covid-19 di Medan dan sekitarnya sudah penuh. Saya berpikir biarlah mereka pasien Covid-19 yang lebih memerlukan perawatan intensif diprioritaskan diisolasi di rumah sakit,” kata Benget.

Secara psikologis, dalam benak akupun tidak begitu berharap untuk isolasi di rumah sakit. Terbayang, kesendirian dan kesunyian di dalam kamar yang lengang, serta perangkat peralatan medis ruang ICU yang terkesan “menyeramkan”, akan membuatku tidak bisa nyaman untuk isolasi di rumah sakit.

Baca Juga:   Tokoh Masyarakat Sumut, Dukung Pemanfaatan Andaliman Hasil Temuan Mahasiswa IT DEL

Setelah mendengar penjelasan dan memastikan kondisiku, walau tetap menyarankan isolasi di rumah sakit, akhirnya, Dokter menyerahkan keputusan akhir kepadaku. Kalau memang lebih nyaman melakukan isolasi di rumah, beliau mempersilahkan. Dengan sejumlah syarat. Pertama malam itu juga Oksimeter sudah harus tersedia, bila tingkat saturasi oksigen di bawah 90, maka wajib menggunakan tabung oksigen yang tersedia dan segera ke rumah sakit.

Kedua, makan dan minum harus lancar, kalau perlu “dipaksa” walau kehilangan rasa. Bila tidak, maka harus dilakukan infus di rumah sakit untuk membantu masuknya makanan dan minuman. Ketiga, dokter meminta istri dan kedua anakku segera ditest PCR. Jika hasilnya positif maka disarankan semuanya isolasi di rumah sakit.

Dokter kemudian memberi resep obat untuk dibeli dan dikonsumsi mulai malam itu juga. Menjelang tengah malam, istriku pergi mencari dan membeli obat, Oksimeter dan selang tabung oksigen untuk menggantikan selang yang sudah lama. Syukur, walau sudah larut malam obat, Oksimeter dan selang tabung oksigen bisa didapatkan. Hal pertama yang kami lakukan malam itu adalah melakukan test Oksimeter, dan hasilnya 95 alias masih normal!.

Besoknya, istri dan kedua anakku melakukan test PCR untuk memastikan mereka tidak ikut terpapar Covid-19. Syukur, dua hari kemudian hasil test PCR mereka negatif. Aku merasa sedikit lega karena istri dan anak-anakku tidak sempat terpapar Covid-19. Sulit dibayangkan, bila mereka positif maka kami semua akan menjadi penghuni rumah sakit. Itupun jika masih ada tersedia hunian kamar di rumah sakit.

***

Sejak divonis positif Covid-19, aku membatasi akses ke media sosial (medsos) guna menghindari informasi dan berita Covid-19 yang bisa mengganggu pikiran. Android kugunakan seperlunya untuk bertelepon dengan teman atau keluarga. Jangan heran bilamana selama 2 pekan terakhir medsosku pasif dan selow respon terhadap status rekan-rekan dumay. Aku nyaris tidak mengetahui kabar berita rekan-rekan dumay dan perkembangan sosial politik yang terjadi.

Sampai dengan hari ke-6 pasca hasil test PCR, aku terus mengalami demam, dengan suhu tubuh naik turun silih berganti. Dalam satu hari, frekwensi demamku bisa 4-5 kali naik turun. Suhu terendah bisa mencapai 37,4°C dan tertinggi bisa mencapai 38,5°C. Tidur sama sekali tidak bisa. Begitu mata ingin terpejam, ada saja hal yang membuatku terbangun, apakah itu mimpi buruk yang mengusik dan kadang aneh menyeramkan, atau ngilu persendian tulang yang tiba-tiba menghentak membuat terkejut, terbangun.

Dalam bahasa medis, demam yang kualami adalah akibat dari peradangan atau infeksi di dalam tubuh, yang bisa saja terjadi bukan hanya di tenggorokan sebagaimana gejala awal, tetapi juga telah terjadi pada bagian tubuh lainnya. Namun secara fisik, sebagai awam aku merasa demam yang kualami terasa berbeda dengan demam biasa. Rasa panas bukan hanya di luar badan tetapi juga di dalam tubuh. Bawaan gelisah dan gerah.

Sel-sel tubuhku seperti sedang berkecamuk berperang dengan sekumpulan virus liar dan ganas yang menyerang semua organ tubuh. Hal itu terasa betul saat aku meriang dan demam tinggi. Tubuh terasa remuk redam, lemah tak berdaya. Persendian tulang terasa ngilu serasa mau lepas, kaki meronta ingin menghempaskan apa saja yang ada di sekitarnya.
Matapun tak bisa tidur terpejam, energi tubuhku seakan tersedot, terkuras bekerja untuk memproduksi sel-sel pertahanan tubuh menghadapi gempuran ganasnya virus Covid-19. Selain demam, sakit kepala juga menyergap. Pusing, dan kadang seperti mengalami migran.

Satu gejala fatal yang tidak kualami adalah sesak pernapasan. Walau batuk sesekali datang dan menggangu pernapasan saat berbicara, namun tingkat saturasiku tetap normal di angka 95. Hasil foto thorax memang menunjukkan ada flag putih di sebagian paruku. Namun menurut dokter itu potret paru yang umum dialami pasien covid.

Walau ada sedikit gambaran pneumonia namun karena tidak ada sesak napas, dan saturasi oksigen stabil di angka 95, dokter tetap mengijinkanku isolasi di rumah. Mungkin, kebiasaanku selama ini joging dan atau main bola setiap pekan bersama anak dan keponakan, membuat paru-paruku cukup kuat menghadapi gempuran Covid-19. Batuk yang terjadi sebenarnya adalah pertanda atau reaksi paru menghadapi serangan virus Covid-19.

Dalam kondisi demam demikian, tak sedikitpun ada selera menyantap makanan yang terhidang. Makanan serasa bau menyengat mengganggu hidung. Semua terasa tawar. Makanan yang dihidangkan seolah seperti sampah yang ingin segera disingkirkan. Namun saya teringat syarat Dokter supaya tetap bisa isolasi di rumah; makan dan minum harus “dipaksakan” supaya ada energi melawan Covid 19.

Baca Juga:   Fisip UMSU Terima Penghargaan dari KPU Sumut

Bila tidak, maka suplai makanan dan minuman akan dilakukan melalui infus di rumah sakit. Mau tak mau, rasa tawar dilawan. Walau pahit, makanan kupaksa ditelan walau hanya bisa 3-6 sendok setiap makan. Setiap sendoknya sejenak kukunyah lalu kudorong dengan air putih supaya masuk ke tenggorokan. Begitulah caranya “memaksa” mulutku untuk menelan makanan.

Sementara minuman, walau juga tawar terasa lebih mudah menelannya. Setiap hari kupaksakan diri mereguk air putih, susu bear brand, you C vitamin c, juice jeruk, juice pokat, air lemon tea yang dicampur madu, dan air kelapa, bergantian sebagaimana disarankan sejumlah rekan-rekan, salah satunya adalah survivor Nazir Salim Manik yang terlebih dahulu telah berpengalaman menghadapi Covid-19.
***
Enam hari terus menerus diserang Covid-19 dengan demam tinggi yang naik turun, sakit kepala, dan sesekali batuk kosong, membuatku sensitif. Rasa frustrasi mulai menyergap dan emosipun tidak terkontrol. Seperti ingin menghempaskan virus Covid-19, namun ia tak tampak. Aku mulai tidak sabar. Aku mulai ragu dengan pengobatan yang kujalani dan obat yang kukonsumsi.

Sudah hampir sepekan, kok demamnya tidak juga menghilang. Setiap kali demam datang aku menghardik tidak karuan, reaksi dari tubuhku yang sakit dan ngilu di semua persendian. Istriku menangis karena menjadi sasaran hardikan yang tidak jelas penyebabnya. Namun begitu, istri dan anakku tetap coba sabar menguatkan, memberi semangat dari celah pintu kamar yang sedikit dibuka untuk bisa berkomunikasi. Tak sadar air mataku mengalir deras. Tak sadar, aku berada titik kritis perlawanan; nyaris menyerah!

Dalam situasi kalut demikian aku minta berbicara dengan dokter. Dokter Aunatika menjelaskan bahwa yang kualami adalah serangan covid 19 yang mesti terjadi dan dihadapi. Beliau menjelaskan bahwa demam, sakit kepala dan batuk yang kualami adalah sesuatu yang mesti terjadi karena virus covid 19 sedang berupaya merusak sel-sel tubuh. Gejala dan reaksi tubuh setiap orang berbeda.

“Kita tidak bisa menghilangkan atau melenyapkannya dengan obat apapun pak, kecuali mencegahnya supaya tidak meluas menyerang organ tubuh lainnya. Yang terpenting adalah bagaimana bapak tidak drop namun tetap memelihara semangat supaya imunitas tubuh tetap terjaga. Walau tubuh lemah dan malas, tetap upayakan bergerak, berjemur di pagi hari, supaya vitamin D dari sinar matahari membantu melawan virus covid 19,” ujar dokter di ujung telepon.

Tak puas, aku juga coba berdiskusi via telepon dengan bereku Dokter Lissa Sabrina yang bertugas di Jakarta. Saran dan pendapatnya hampir senada. “Tulang, gejala covid 19 itu memang harus terjadi dan dialami, seperti demam, sakit kepala, ngilu dan batuk. Bahkan korban lain ada yang langsung sesak napas. Bagi tiap orang, gejala spesifiknya bisa berbeda. Dan tingkat resikonya juga bisa berbeda. Ada yang mengalami lebih parah. Dalam 3 hari sudah sesak, batuk berdarah dan harus pakai ventilator. Tulang, harus sabar. Harus berdamai dengan virus ini.
“Jangan membayangkan dia bisa kita lenyapkan begitu saja dengan obat yang dimakan. Secara medis, virus ini punya masa hidup (inkubasi), biasanya paling lama 14 hari di dalam tubuh kita. Setelah itu dia akan mati sendiri. Karenanya, yang penting adalah menjaga semangat, supaya tubuh memproduksi imunitas melawan covid 19 sampai lewat masa inkubasinya. Jangan fokus pada demam dan sakitnya, fokuslah pada bagaimana tetap semangat dan pikiran positif, tulang”, ujar bereku di telepon.

Semangat dan pikiran positif, gembira!. Itulah kata kunci, inti percakapan dengan dua dokter yang mengontrol perawatan sakitku. Sekejab inti percakapan tersebut membuatku merinding, membawaku teringat dengan kisah Viktor Frankl, seorang neurolog dan psikiatri yang menjadi salah satu korban Holocaust, tawanan di kamp konsentrasi Nazi saat Perang Dunia Kedua. Kisahnya yang mengharu biru, bagaimana merespon penderitaan dan kematian yang sudah di depan mata, dan kemudian melahirkan teori baru dalam ilmu psikologi; logotherapi, terekam dalam buku best sellernya “Man’s Search for Meaning”.

Walau derita yang dialami Frankl dominan adalah derita fisik akibat kekejaman dan kekejian Nazi, namun tesisnya terasa relevan dan mengena. Belajar dari apa yang dialami penghuni kamp konsentrasi, baik yang mati ataupun selamat, Viktor Frankl mengamati dan sampai pada kesimpulan bahwa bukan siksa, nasib dan penderitaan, tetapi bagaimana kebebasan manusia merespon siksa, nasib dan penderitaan itulah yang menentukan makna hidup manusia!.

Menurut Viktor Frankl, semua hal bisa diambil manusia, kecuali kebebasannya memberi respon terhadap derita, siksa dan nasib. Kebebasan memberi respon itulah yang bisa mengubah, membuat hidup manusia menjadi bermakna. Dalam bahasa iman mungkin itu yang disebut, hati gembira adalah obat yang mujarab.

***
Memasuki hari ke tujuh, demam, ngilu, badan lemah serta batuk masih terus menyerang. Namun aku mulai tidak ambil pusing, tidak mau larut dalam irama virus Covid-19 yang membuat tubuh malas bergerak. Aku mulai mencoba mengubah cara berpikir merespon gejala Covid-19. Aku rasakan saja demam, ngilu, sakit kepala dan batuk sebagai sesuatu yang rutin mesti kulalui.

Pikiranku mulai fokus memproduksi hal positif, menciptakan bayangan suasana kegembiraan. Aku membayangkan bisa bermain bola kembali dengan keponakanku setiap akhir pekan. Aku membayangkan kedua anakku yang masih SMP, tumbuh dewasa dan kami kemudian bisa berpesta mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan. Aku memikirkan terbitnya buku kumpulan tulisan-tulisanku yang selama ini tercecer dan terbengkalai.

“Aku berpikir, melamunkan berjalan berlibur bergembira bersama istri dan anak-anakku. Aku membayangkan bertemu dengan ibuku dan keluarga di Jakarta dengan suasana gembira. Dan berpikir membayangkan hal-hal positif, gembira lainnya. Bahkan sedikit nakal, aku juga membayangkan sedang berdua bersama istriku memadu hasrat.” tandasnhya.

Baca Juga:   Enam Balon Kepala Daerah di Sumut Positif Terpapar Covid-19

Kusugesti diriku; bahwa dengan obat, makanan dan minuman yang kukonsumsi aku akan sembuh. Beragam jenis obat yang diberi dokter kuminum dengan sugesti diri akan membawa kesembuhan. Walau aku tak tahu pasti secara medis seberapa besar khasiat air kelapa, susu bear brand, juice jeruk, juice pokat, dan campuran lemon tea dan madu untuk melawan virus Covid-19, namun kusugesti diriku, kuyakini saja semua itu sebagai obat penyembuhan. Setiap kali dihidang, kuminum walau masih terasa tawar.

Setiap pagi, lanjutnya antara pukul 9.00 s.d 10.00 wib, walau badan masih lemah dan malas serta meriang aku paksa diri berjemur dan menggerak-gerakkan badan, sambil melatih pernapasan; menarik napas dalam-dalam, menahan napas sesaat dan kemudian melepasnya. Walau pertama terasa berat dan lelah serta kadang disertai batuk, namun perlahan bisa dilakukan dan badan terasa lebih membaik. Keringat yang mengucur membuat tubuh serasa lebih bertenaga.

Hari kesembilan, mulai ada perubahan. Demam masih tetap ada namun frekwensinya sudah menurun. Bila sebelumnya dalam satu hari bisa 4-5 kali naik turun, kali ini frekwensinya menurun menjadi 2-3 kali saja. Batuk juga mulai mereda, pernapasan dan tingkat saturasi juga masih stabil di angka 95. Mulai terasa lapar sehingga selera makanpun mulai naik. Bila sebelumnya selalu ada sisa makanan di piring, walau porsinya hanya setengah, kali ini apa yang di piring mulai bisa kuhabiskan dengan perlahan.

Hari kesepuluh demam tinggal sekali dalam satu hari. Aku tidak tahu persis apakah masa inkubasi virus Covid-19 mulai habis, namun tubuhku sudah lebih nyaman. Tidak ada lagi meriang dan demam serta ngilu yang menyakitkan itu. Rasanya, kecamuk perang antara virus Covid-19 dan sel-sel pertahanan tubuhku, sebagaimana sangat terasa sampai dengan hari ketujuh, mulai mereda. Perkembangan tersebut senantiasa kulaporkan ke Dokter. Walau kondisi membaik, namun Dokter tetap minta waspada, jangan lengah. Tetap konsumsi obat dan makan minum dengan optimal. Sebab dalam sejumlah kasus, sesaat gejala Covid-19 bisa terlihat mereda namun satu dua hari kemudian bisa kembali muncul menyerang.

Hari kesebelas demam sama sekali tidak lagi datang. Di pagi hari selain berjemur aku sudah mulai bisa berlari-lari kecil. Butiran keringat yang mengucur membuat badan terasa makin membaik dan bugar. Selera makanpun mulai pulih. Mulai ada selera untuk menyantap jenis makanan tertentu. Salah satunya adalah mie goreng sea food favorit. Istriku kemudian membelinya dan perlahan bisa kuhabiskan.

Hari keduabelas sampai dengan hari keempat belas pasca hasil test PCR, Sabtu 15 Mei, kondisiku sudah semakin pulih. Aku sangat bersyukur. Pernapasan sesak yang kukhwatirkan tak pernah hadir. Tabung oksigen yang kupersiapkan belum pernah kugunakan. Hari keduabelas sebenarnya aku sudah minta ke Dokter untuk dilakukan test PCR guna memastikan statusku. Namun dokter menyarankan agar test PCR dilakukan setelah 14 hari untuk memastikan imunitas tubuh sudah betul-betul kuat dan stabil dan virus Covid-19 sudah tidak ada lagi.

***
Menurut Benget Silitonga, kisah dan testimoni ini bisa jadi tak penting. Toh gejala yang kualami bukanlah gejala berat yang membuat pernapasanku sampai sesak sehingga harus masuk kamar ICU dan menggunakan ventilator. Gejala Covid-19 yang kualami mungkin juga tidak seberat yang dialami penyintas lainnya, dan testimoniku ini mungkin juga tidak sehebat testimoni penyintas lainnya yang lebih menakjubkan.

“Tapi Covid-19 bukan tentang testimoni hebat menakjubkan atau tidak. Bukan juga tentang gejala ringan atau berat. Apa yang dianggap gejala ringan, secepat kilat dalam hitungan jam dan hari bisa berubah menjadi maut. Sebaliknya, apa yang dianggap gejala berat bisa berakhir dengan maut ataupun kesembuhan. Sudah banyak fakta dan korban membuktikan kedua paradoks tersebut,” tegasnya.

Testimoni ini tambah Benget Silitonga bukan tentang kehebatannya bisa menghadapi Covid-19 tetapi adalah tentang menggugah saling menopang, menguatkan menghadapi serangan Covid-19 yang bisa menyergap siapa, kapan dan dimana saja dengan gejala spesifik yang tak selalu sama.

Pertama, jangan pernah remeh dengan Covid-19. Apalagi menganggap virus ini hoaks atau rekaan belaka. Kedua, jangan pernah terlambat menangani. Bila sudah ada gejala awal namun 2-3 hari tidak sembuh, segera lakukan test swab antigen dan PCR. Segera tangani, mau di rumah atau di rumah sakit yang penting ada dokter atau paramedis yang memantau dan mengontrol.

Ketiga, ketika terkonfirmasi positif, jangan panik. Buang pikiran buruk, yakinkan diri bahwa Covid-19 tak selalu berakhir dengan maut. Sabar, respon gejalanya dengan memproduksi pikiran positif dan bayangan kegembiraan.

Keempat, kita tidak bisa melenyapkan virus Covid-19 seperti melenyapkan virus demam biasa. Kita hanya bisa membatasi ruang geraknya, bertahan, berlomba dengan waktu sampai masa inkubasi virusnya habis.

Kelima, senantiasa berdoa bermohon kepada-Nya. Tapi bukan hanya berdoa, juga berjuang. Ya, berjuang untuk merawat dan memelihara kehidupan. Ingat, hidup dan mati kita memang Tuhan yang menentukan, namun Ia tak pernah mengundi kematian kita. Kitalah yang diperintahkan-Nya untuk merawat dan memelihara kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya.

Maka ketika terkonfirmasi, tambahnya jangan berserah dan menyerah begitu saja. Berjuanglah dengan sehebat-hebat doa dan daya yang ada padamu, memelihara dan merawat kehidupanmu. (James P Pardede)