Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
EkonomiHeadline

Ketua Umum GPEI, Khairul Mahali: “Sudahlah Pemerintah, Tinggalkanlah Kebijakan Wishful Thinking!”

×

Ketua Umum GPEI, Khairul Mahali: “Sudahlah Pemerintah, Tinggalkanlah Kebijakan Wishful Thinking!”

Sebarkan artikel ini

Medan, Mediasumutku.com– Pemerintah Indonesia didorong dan sudah sepantasnya meninggalkan sifat dan karakter yang wishful thinking dalam perumusan kebijakan. Sebab, Indonesia ke depan akan menghadapi tantangan global yang sangat berat. Persaingan antara satu negara dengan negara lainnya akan semakin ketat.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Khairul Mahali kepada Mediasumutku.com melalui aplikasi WhatsApp, Kamis (29/8/2019).

Sebagai informasi, pengamat ekonomi Arief Wicaksono dalam situs bangkitindonesiakita.blogspot.com menyebutkan, whisful thinking jika diartikan ke dalam bahasa sehari-hari adalah berpikir secara berfantasi, mengkhayal, dan tidak jelas apakah bisa dikerjakan atau tidak.

“Pendekatan wishful thinking sudah harus ditinggalkan dalam proses perumusan kebijakan apabila Indonesia ingin dapat bertahan menghadapi tantangan ekonomi global saat ini dan di masa datang. Langkah-langkah ini terasa menjadi sangat mendesak untuk ditempuh apabila perkiraan bahwa dunia akan memasuki resesi ekonomi ternyata benar terjadi,” kata Khairul Mahali.

Baca Juga:   Rupiah Kokoh Bertengger di Level Rp13.650/U$D

Sekretaris Jenderal DPP ASDEKI (Asosiasi Depo Kontainer Indonesia) ini mengatakan, ada dua hal yang perlu ditempuh pemerintah dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Untuk jangka pendek, ujarnya, pemerintah perlu fokus memperhatikan faktor-faktor daya saing ekonomi sambil mendorong ekspor dan menarik investasi.

Ia menyebutkan, ekspor dan investasi tentunya sulit didorong apabila ekosistem perekonomian nasional belum cukup mendukung seperti suplai energi, produktivitas industri pengolahan dan manufaktur, kebijakan di sektor hulu dan hilir, kelancaran impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal, konektivitas di antara sentra-sentra produksi, industri, dan distribusi.

“Juga yang sangat dibutuhkan itu yakni rezim kebijakan yang stabil dan pasti, keterampilan tenaga kerja, sektor perbankan yang probisnis, dan lainnya,” ujar Khairul Mahali.

Baca Juga:   Musa Rajekshah Resmikan Musala Kantor Desa Sampali
Ketua Umum GPEI sekaligus Sekjen ASDEKI Khairul Mahali dalam sebuah acara beberapa waktu lalu

Di saat yang sama, ujarnya, negara tujuan ekspor dan sumber investasi perlu didekati secara lebih cerdas. Sebab, di tengah kecenderungan banyak negara menerapkan kebijakan impor yang restriktif, meningkatkan promosi ekspor dan investasi seperti dilakukan dalam 10-15 tahun terakhir tidaklah cukup.

“Pemerintah didukung kantor-kantor perwakilan di luar negeri harus masuk lebih dalam lagi, mencari kiat-kiat khusus untuk menembus kebijakan-kebijakan restriktif negara tujuan ekspor,” ujar Khairul.

Untuk ke Tiongkok, misalnya, perlu didorong kemitraan antara pelaku usaha Indonesia dan Tiongkok melalui joint production process atau membentuk joint ventures.

Sebab, kata Khairul, mitra bisnis dari Tiongkok lebih paham bagaimana menyiasati pasarnya sendiri. Sementara itu, dengan negara-negara yang mengalami keterbatasan serius dalam cadangan devisanya untuk memenuhi kebutuhan nasionalnya dari impor, mungkin perlu dijajaki prakarsa dagang imbal-beli.

Baca Juga:   Sambut Imlek 2572, TMP Kota Medan Bagikan 100 Paket Sembako Di Medan Tembung

“Selain intensifikasi pasar seperti di atas, dalam jangka panjang ekstensifikasi pasar juga perlu diperkuat, terutama ke pasar-pasar nontradisional,” ujar Khairul.

Ia menyebutkan, kesepakatan dagang dengan Chile yang memasuki tahap implementasi mulai 10 Agustus 2019 merupakan awal yang baik dalam hal ekstensifikasi pasar.

Perlu dicatat, ujar Khairul, negara pesaing Indonesia justru dari sesama anggota ASEAN sudah mulai masuk ke kawasan Amerika Latin.

“Dan kita pun tidak ingin tertinggal lagi seperti Vietnam bergabung dengan CP-TPP atau berhasil lebih dulu menyelesaikan perundingan FTA dengan Uni Eropa,” tegas Khairul Mahali.(MS1/MS1)