Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
EkonomiHeadlineSumut

Rosmaida Gurning, Sudah 30 Tahun Berjualan Di Kapal Penyeberangan Ajibata-Tomok

×

Rosmaida Gurning, Sudah 30 Tahun Berjualan Di Kapal Penyeberangan Ajibata-Tomok

Sebarkan artikel ini

“Kacang ito, ada juga mie, dan telur rebus,” suara-suara itu langsung terdengar dari para pedagang di kapal penyeberangan fery di Kecamatan Ajibata menuju Desa Tomok Pulau Samosir, sesaat setelah mobil yang kami tunggangi masuk ke dalam kapal fery, Kamis 08 Oktober 2020 lalu.

mediasumutku.com | SAMOSIR – Pedagang yang semuanya kaum ibu-ibu langsung mondar-mandir untuk menjajakan daganganya. Suaranya berlomba dengan kru kapal yang sedang mengatur mobil kecil dan mobil besar supaya tersusun rapi dan tidak saling bergesekan parkirnya.

Meski kadang ditolak para penumpang, namun para pedagang ini tidak kunjung berhenti untuk menawarkan dagangannya, mereka terus menawarkan sampai penumpang akhirnya luluh dan mau membeli dagangan mereka.

Salah seorang pedagang yang ada di kapal penyeberangan itu, bernama Rosmaida Gurning, yang sehari-hari berdagang kacang, mie dan telur rebus mengaku sudah 30 tahun berjualan di atas kapal.

Baca Juga:   Timbulkan Ancaman Kemanusiaan, Virus Korona Kebal Antibiotik

Wanita kelahiran tahun 1950 ini pada awalnya berjualan di kapal kayu penyeberangan, kemudian 15 tahun terakhir sudah berjualan di kapal fery milik OTB Sitanggang ini.

BACA JUGA : Nawal Harapkan PKW Suburkan Pengrajin dan Dukung Wisata Danau Toba

Ia mengaku, usia tak bisa dibendung dan staminanya kian menurun. Tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk tetap setia berjualan mie, kacang dan telur rebus.

Selagi masih muda dan tenaga masih kuat, ia bisa berjualan dari pagi sampai senja. Sekarang sudah berubah polanya, karena faktor usia ia pun sudah membatasi waktu berjualan hanya sampai pukul 14.00 WIB.

“Akhir-akhir ini dagangan yang ia masak sendiri di rumah itu selalu sisa, telur rebus bisa sisa 10, kacang bisa sisa dua bungkus, penumpang sudah sepi, apalagi di musim virus Corona ini,” katanya.

Baca Juga:   Dampak Erupsi Gunung Ile Lewotolok di Kupang, Wings Air Batalkan Penerbangan

Sambil merapikan rambutnya yang sudah beruban, Ros mengaku, selama berjualan di kapal, kehidupannya bisa terpenuhi, semisal untuk membeli beras dan lauk pauk setiap hari bisa dibeli dari hasil berjualan. Bahkan, dulu, saat masih kuat, ia juga berjualan hingga malam sampai operasional kapal fery tutup, dan hasil berjualannya bisa menyekolahkan anak-anaknya.

“Anak saya tiga, satu perempuan dan dua laki-laki, anak saya yang bungsu laki-laki sudah bekerja di Jakarta dan sudah membantu kami,” katanya.

BACA JUGA : Mau Wisata Ke Berastagi, Jangan Lupa Pakai Masker dan Patuhi Prokes

Ia juga mengaku, saat belum ada virus Corona, hasil berdagangnya bisa membantu cucu-cucunya uang jajan, dan juga bisa membantu anak-anaknya terutama putri sulungnya yang juga berjualan di Ajibata.

Baca Juga:   GTTP Covid-19 Sumut Salurkan 1.892 Paket Sembako untuk Mahasiswa

Saat ditanya, pengalaman suka dan duka selama berjualan. Ros mengaku pengalaman suka yakni selalu sabar dalam menjajakan jualannya. Ia tidak mau memaksa pembeli untuk membeli dagangannya. Kadang diakuinya, ada beberapa pembeli yang mengajak berbicara. Setelah berbicara dagangannya pun dibeli.

Namun, soal duka, setiap hari ia bersama para pedagang lainnya harus menjaga kebersihan selama berada di atas kapal. Sampah-sampah yang berserakan harus dibersihkan dan kapal fery harus disapu saat tiba di Tomok dan di Ajibata, sebab jika kotor dan banyak sampah, nahkoda kapal marah.

Sebagai orang tua yang sudah berumur 70 tahun.  Ia hanya berharap anak-anaknya semua sehat dan jauh dari penyakit.  Ia juga mengaku sudah lelah dan memilih tetap berjualan semampunya saja.