Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
Artikel

Tinggal Pilih: Jaga Jarak atau Ambyar

×

Tinggal Pilih: Jaga Jarak atau Ambyar

Sebarkan artikel ini

Oleh Prof. dr. Djoko Santoso,Ph.D, Sp.PD.K-GH

SEKARANG beredar istilah baru covidiot, yang lahir dari pandemi covid-19. Karena istilah ini tidak mengenakkan, maka cocoknya hanya ditahbiskan kepada mereka yang super egois.

Istilah ini merupakan bentuk kejengkelan pada orang-orang yang tak peduli penyebaran penyakit coronavirus disease 2019 (covid-19). Mereka yang tetap beraktivitas biasa secara sosial, tak mau diam di rumah, tetap tak menjaga jarak dengan orang-orang lain (social distancing). Akibatnya, mereka dapat menjadi kapal induk pembawa virus dan menyebarkannya ke banyak orang. Pantaslah mereka disebut para super egois yang ngawur di saat pandemi covid-19.

Harus sepenuhnya diinsafi bahwa aktivitas berkumpul yang melibatkan banyak orang saat ini ialah berbahaya, membahayakan diri sendiri dan nyawa orang lain. Covid-19 ini menyebar luar biasa cepat, jauh lebih cepat daripada yang bisa kita lacak lewat uji tes yang alatnya baru mau diimpor itu.

Situasi makin mencemaskan karena para petugas medis di garda depan juga mulai bertumbangan, dengan beberapa dokter dan perawat gugur. Sabtu (21/3) saja, ada tiga dokter meninggal. Mereka benar-benar bertaruh nyawa karena mendekati dan merawat orang-orang yang dijauhi orang lain. Tugas mereka harus kita bantu dengan mencegah meluasnya penyebaran penyakit ini.

Sudah banyak petaka dari orang-orang tak peduli (ignorance) ini. Yang saat ini paling memilukan ialah Italia. Gara-gara sikap abai untuk tak kumpul-kumpul, Italia sekarang jadi pusat amuk covid-19. Kebiasaan orang Italia untuk nongkrong, minum-minum bareng setelah kerja (aperitivo), menjadi bencana besar. Kini perkembangan covid-19 di Italia paling pesat dan korban tewas melebihi Tiongkok, pusat pertama virus ganas ini.

Fenomena sirip hiu

Indonesia pun mengalami lonjakan dari hari ke hari. Sabtu (21/3) ada 450 orang positif dan 38 meninggal (8,4%). Porsi terbanyak ada di Jakarta, yang bisa jadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena memang Jakarta ialah episentrum wabah ini. Kedua, bisa jadi juga menyebar ke provinsi lain dalam jumlah banyak. Namun, bedanya, di Jakarta terdapat banyak fasilitas kesehatan, SDM medis, dan dana yang cukup sehingga bisa lakukan pelacakan dan pengecekan dalam jumlah banyak, sementara di provinsi lain kemampuannya belum memadai.

Baca Juga:   Ini Yang Membuat Lunch Box Gamumu PKK Sumut Raih Juara

Dengan arus lalu lintas warga dari DKI ke provinsi lain dan sebaliknya yang tetap lancar tanpa batasan, besar sekali kemungkinan sudah terjadi penyebaran secara massal, tapi belum terlacak, terdata, dan tertangani. Kekhawatirannya ialah (semoga tidak terjadi) kasus di provinsi lain bisa jadi sama atau bahkan lebih banyak dari kasus di DKI, tapi tak terlacak karena minimnya alat uji tes dan fasilitas medis. Ini bisa jadi seperti fenomena sirip hiu. Yang di permukaan hanya kerucut kecil, tapi di bawahnya ialah bentuk aslinya yang besar dan ganas.

Sekarang situasinya sudah darurat nasional. Seluruh rumah sakit dalam status siaga dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Banyak di antaranya sudah kehabisan persediaan. Masker, sanitizer, ‘baju astronaut’, obat-obatan, dan juga kamar-kamar perawatan khusus makin langka. Untung ada Wisma Atlet Kemayoran Jakarta yang berkapasitas 22.000 kamar yang disiapkan untuk covid-19. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga telah mengeluarkan banyak panduan menghadapi covid-19, termasuk untuk warga yang berusia lebih tua dan berisiko tinggi.

Sangat disayangkan jika masih banyak warga yang sepertinya tidak terpengaruh situasi darurat ini. Masih banyak yang beraktivitas dengan bebas, berkumpul dengan banyak orang, bahkan tetap menyelenggarakan acara dengan mengundang banyak orang tanpa beban, cuek. Orang-orang ini sudah terbukti menjadi kendaraan virus.

Dari kasus awal yang terkuak di Kota Depok, Jawa Barat, betapa covid-19 ini menular dari warga Jepang kenalan ibu dan anak di lantai dansa, tempat berkumpul banyak orang yang berajojing. Kabarnya sampai ratusan orang harus di-screening untuk mencari yang tertular.

Di saat sekarang sudah banyak peringatan, berkumpul ialah perbuatan sembrono dan membahayakan, bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga orang lain.

Langkah sembrono ini akan makin mempercepat penyebaran virus dan meningkatkan penderitaan bagi mereka yang tergolong kelompok rawan, mereka yang berusia lanjut, yang pernah atau sedang mengidap sakit kronis, anak-anak yang menderita stunting, dan juga para pekerja medis yang akan merawat pasien covid-19. Bila masih punya kakek, nenek, atau orangtua usia lanjut, sekarang menahan diri dulu untuk tidak mengunjungi mereka.

Secara umum orang akan meyakini kelompok usia muda dan sehat akan lebih rendah risiko jatuh sakit terhadap paparan virus ini. Namun, di sisi lain, mereka yang muda dan sehat terkait dengan paparan virus, justru lebih berpeluang menjadi penyebar virus. Kalangan medis menggunakan permodelan yang menunjukkan bahwa orang-orang muda sehat dan berisiko rendah ini. Namun, bila gerakannya tidak dibatasi, sangat potensial menyebarkan penularan jika dibandingkan dengan orang-orang tua atau rentan, tapi geraknya dibatasi.

Baca Juga:   DeFrood Raih Peluang dari Arsik Ikan Mas Sebagai Oleh-Oleh Khas Medan

Anak muda tidak kebal

Italia menjadi ambyar karena anak-anak muda yang tak peduli peringatan agar tidak kelayapan nongkrong ini. Mereka membawa pulang virus dan menularkan ke orang-orang tua di rumah. Dan, jangan lupa, perkembangan terbaru ternyata anak-anak muda juga bertumbangan. Sampai akhirnya Dirjen WHO dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengeluarkan peringatan, “Anak-anak muda, kalian tidak kebal (invincible). Virus ini dapat membuat terkapar di rumah sakit berminggu-minggu, bahkan menewaskannya. Maka, jangan sampai jadi super egois ngawur jika tidak ingin disebut covidiot. Karena selain bisa menulari, juga bisa jadi ambyar sendiri.”

Benjamin Kerr, ahli biologi evolusi dari Harvard Institute, menjelaskan hal ini. Secara umum, mereka yang berusia tua atau lagi sakit cenderung tidak banyak bergerak, bepergian, dan berinteraksi dengan orang lain, sementara mereka yang berisiko rendah (muda dan sehat) cenderung lebih banyak bergerak, bepergian, masuk kantor, datang ke acara hiburan, dan berinteraksi dengan orang lain di wilayah lain. Jika kelompok ini tidak mematuhi pelaksanaan pembatasan sosial, merasa bebas pergi ke mana dan bertemu siapa saja, artinya mereka ini aktif menjadi penyebar virus. Maka seluruh proses pencegahan penularan virus akan ambyar.

Ada ilustrasi untuk menjelaskan ini. Ada deretan 10 batang korek api, yang menggambarkan 10 orang. Sebatang korek api jika dinyalakan akan membakar tiga batang korek api di sebelahnya. Jika ada satu orang yang kemasukan virus (meski tak bergejala dan nampak tehat), kemudian bepergian, berinteraksi, dan bersentuhan dengan sekelompok orang lain yang sehat, satu orang pembawa virus tadi akan menularkan virusnya ke 2-3 orang lain.

Perkembangannya dari hari ke hari seperti mengikuti hukum eksponensial. Ketika sudah pada batang korek api generasi yang ke-10, terakumulasilah yang terpapar menjadi 2.000-3.000 orang. Itulah gambaran betapa cepatnya daya sebar covid-19.

Baca Juga:   Pemerintah Ungkap Pentingnya Pakai Masker

Tak mengherankan bila juru bicara pemerintah untuk covid-19, Achmad Yurianto, menyatakan covid-19 bisa menginfeksi 600.000-700.000 orang Indonesia. Ini sesuai dengan risiko populasi kita. Kalaupun itu jadi kenyaaan sepersepuluhnya saja, sudah jadi bencana besar. Sudah hampir setara yang terinfeksi di Tiongkok, yang 80 ribu orang. Kita sulit membayangkan betapa beratnya menanggulangi orang sakit sebanyak itu dalam satu kurun waktu.

Di sinilah sulitnya memberi pengertian ke warga agar jangan sembarangan bepergian dan berkumpul dengan banyak orang. Lihat saja Italia, negara yang diperkirakan seminggu atau 10 hari lebih cepat kemasukan covid-19 jika dibandingkan Amerika Serikat. Sistem layanan kesehatan Italia, yang termasuk sangat maju, runtuh dalam hitungan minggu. Sekarang, Italia ialah negara yang terkunci, menerapkan lockdown total dengan kondisi warganya merana.

Karena itu, pembatasan sosial ialah sangat penting dan sebaiknya diwajibkan, bukan sekadar imbauan. Ini bukan pernyataan lebay, bukan pula untuk menyebar panik, juga bukan hanya tentang karantina untuk melindungi diri sendiri, melainkan juga ini untuk melindungi ­orang lain agar tidak tertular virus hanya karena datang ke acara pertemuan, kongres, pernikahan, atau reuni. Sekalipun menjaga jarak fisik (physical distancing), kita harus tetap peduli dengan keselamatan masyarakat dan orang lain (social cohesion).

Untuk mengurangi tekanan pembatasan sosial ini, ada beberapa ide untuk membantu kegiatan rutin yang hilang hingga bisa menimbulkan kehilangan pendapatan dengan tindakan meminimalkan jarak sosial. Intensifkan cara daring atau kiat virtual, tetapi kita harus menyadari bahwa cara ini akan menjadi jalan untuk menurunkan serbuan covid-19. Kita memang menghadapi tantangan serius dan akan membutuhkan pemerintah untuk mengambil tindakan guna membantu semua orang yang sedang berjuang.

Untuk saat ini, bertindaklah yang lebih bertanggung jawab. Untuk sementara tunda kegiatan rutin Anda. Di Tiongkok, Singapura, dan Korea Selatan cara ini terbukti efektif telah menyelamatkan banyak nyawa. Dengan sikap lebih bijak, semoga pandemi ini bisa kita hadapi dan sembari berikhtiar, jangan lupa terus menautkan hati kepada Ilahi Rabbi. (Sumber: Media Indonesia)

Penulis adalah Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga, Surabaya