MEDAN-Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif atau Restorative Justice menjadi salah satu upaya Kejaksaan dalam mengembalikan keadaan kepada keadaan semula. Upaya Kejaksaan dalam membuka ruang antara tersangka dan korban saling memaafkan dan tersangka menyampaikan permohonan maafnya secara langsung dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Seperti disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto,SH,MH melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH,MH, Jumat (24/3/2023) proses penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif tidak dilaksanakan begitu saja, tapi ada proses dan tahapan yang harus ditempuh.
“Berawal dari usulan Jaksa Penuntut Umum setelah sebelumnya dilakukan analisa dan mendalami esensi dari terjadinya tindak pidana tersebut. Dan, proses penghentian penuntutan juga harus berpedoman pada Peraturan Kejaksaan atau Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice,” jelasnya.
Usulan untuk dilakukannya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, kata Yos A Tarigan dilaksanakan secara berjenjang sampai akhirnya Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum menyetujui setelah sebelumnya diadakan ekspose perkaranya secara daring.
“Dari Januari sampai Maret 2023, Kejati Sumut sudah melakukan penghentikan penuntutan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif sebanyak 15 perkara, dan perkara yang dihentikan penuntutannya didominasi tindak pidana pemukulan, pencurian dan kekerasan dalam rumah tangga,” tandasnya.
Dari beberapa perkara yang dihentikan penuntutannya, lanjut Yos A Tarigan, Jaksa Penuntut Umum sebagai pengendali perkara harus benar-benar menggunakan hati nuraninya dalam melihat esensi permasalahan. Seperti contoh perkara pencurian sepeda motor yang berasal dari Kejari Sergai.
“Dimana, tersangka Azrai Abdi Nasution Alias Zo’i yang mencuri sepeda motor Sarno yang rencananya akan dijual dan uangnya digunakan untuk membayar hutang biaya persalinan isteri dan perawatan anaknya di inkubator. Saksi korban Sarno F setelah mendengar alasan tersangka, Sarno memaafkan tersangka dan bersepakat berdamai,” paparnya.
Lebih lanjut mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini menyampaikan, bahwa penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula.
“Penyelesaian perkara melalui pendekatan restorative justice ini terbukti akhir-akhir ini telah mendapat respons yang sangat positif baik dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pelaku dan korban, keluarga pelaku, keluarga korban juga dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat, terlebih lagi apabila hubungan mereka yang terlibat perkara memang bersaudara, bertetangga, berteman atau masih ada hubungan keluarga. Ketika bersepakat berdamai, maka hubungan yang sempat terputus bisa harmonis kembali,” kata Yos.
Dalam pelaksanaan RJ berdasarkan Perja No.15 Tahun 2020 ini, tambah Yos A Tarigan, kita meminta masyarakat ikut mengawasi kebijakan ini untuk memastikan program RJ berjalan dalam proses dan keadaan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya sehingga memberi kemanfaatan hukum bagi masyarakat.