mediasumutku.com| MEDAN– Saat ini, petani kopi Arabika di Tanah Karo terpaksa menjual chery (biji mentah), sebab jika langsung diproses menjadi olahan kopi peralatan mereka belum mumpuni.
Apalagi harga kopi gabah hanya Rp16.000/kg. Mau tak mau, biji mentah pun terpaksa dijual. Idealnya, petani kopi di Karo harus mampu memproduksi dalam bentuk Greenbean dan Roastbean. Pemerintah harus hadir dalam hal tersebut.
Sebab, jika harga sedang tidak baik dan di proses dalam bentuk greenbean dapat disimpan selama berbulan-bulan hingga tahunan. Bahkan, jika ada kendala dalam biaya perawatan dan kebutuhan harian bisa didukung dengan pembiayaan dari pihak bank.
Asalkan, masyarakat bisa menggudangkan kopi milik mereka, saat harga membaik mereka bisa menjualnya, dan disaat harga belum membaik, sesuai orderan bisa di produksi dalam bentuk Roastbean.
Petani dan pegiat kopi di Tanah Karo, Benson Kaban mengatakan, dengan kurangnya peralatan menjadi alasan yang paling utama buat semua petani kopi di Tanah Karo untuk berkembang.
Selanjutnya pasar, Pemkab Karo juga harus berperan dalam membuka pasar kopi di Karo, bila perlu dibuatkan 1 pasar menampung hasil Bumi, khususnya kopi. Misalnya, menjadikan Pasar/Pajak Singa menjadi Pusat Jual Beli Kopi di Karo.
“Saat ini, lebih 50.000 orang petani kopi di kabupaten Karo, dan potensinya tercatat lebih 2.000 jumlah kedai kopi di kawasan Kabupaten Karo. Faktor pendukung lainnya, saat ini masyarakat kabupaten Karo sudah melek dengan informasi teknologi dan perhatian dari warga Karo perantauan melalui media sosial cukup tinggi untuk kampung halamannya,” katanya, Rabu (25/11/2020).
Namun sayangnya, selain peralatan yang masih kurang, ditambah dengan adanya virus corona lagi-lagi menjadi kambing hitam, belum lagi ekspor tidak berjalan menjadi logika umum yang dibangun untuk rasionalisasi harga kopi murah.
“Sementara di Eropa orang masih tetap minum kopi, padahal disana tidak ada pohon Kopi, sehingga seharusnya import kopi tetap masih berjalan,” katanya.
Dikatakannya, di Kabanjahe 1 kilogram Red Chery dihagai Rp5.200/kg. Namun, walaupun murah harga kopi saat ini masih memberikan keadilan bagi pekerjanya. Sebab kopi tidak mungkin dipanen sendiri oleh pemilik kebunnya, kopi membutuhkan tenaga kerja massal.
“Saat ini upah panen Kopi Rp2.500/kg. Seorang pekerja bisa memetik 40 hingga 70 kg biji kopi segar (buah chery), antara 30 hingga 70 kg, tergantung banyaknya buahnya dan musim panen,” ujarnya.
Diterangkannya, kopi di Kabupaten Karo rentan berkurang jumlahnya, bahkan ditahun 2012-2013 petani Kopi di Karo ramai-ramai menebang pohon kopinya akibat harga murah.
“Ditengah tekanan krisis seperti saat ini, dan murahnya harga kopi dalam waktu berkepanjangan, tindakan massal penebangan pohon kopi secara massal rentan terjadi. Ini harus diantisipasi dengan mempercepat ritme gerakan membangkitkan Karo dengan UMKM dan produk kopi,” katanya.
Benson berharap, dengan giatnya program UMKM yang dimotori pemerintah pusat saat ini, maka petani kopi Tanah Karo sangat antusias dengan dibantunya untuk mendirikan banyak izin usaha produsen kopi di Kabupaten Karo.
“Kami sudah siapkan tim untuk mensosialiasi berbagai jenis mesin dan peralatan Pengolahan Kopi secara lengkap, mulai dari proses industri hingga mesin Penyajian di Kedai Kopi. Kedepannya, kita akan menggagas pelatihan barista dan roaster yang mendapat legalitas dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSF) kopi,”(MS11)