Scroll untuk baca artikel
NasionalReligi

Pihak Masjid Juga Pernah ‘Mengalah’

×

Pihak Masjid Juga Pernah ‘Mengalah’

Sebarkan artikel ini

Solo, Mediasumutku.com- Ini masih kelanjutan cerita nyata dari Kota Solo, Jawa Tengah, tentang dua bangunan ibadah yang berdiri berdempetan. Berdiri jauh sebelum Indonesia menyatakan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Kisah toleransi dan kerukunan beragama ini dikutip Mediasumutku.com, Minggu (11/8/2019), dari laman BBC edisi bahasa Indonesia.

Dalam merawat toleransi itu, tidak hanya pihak gereja yang ‘mengalah’, namun dari pengurus masjid juga melakukan sikap seperti itu ketika tempat ibadah tetangganya itu merayakan hari besarnya.

Bahkan, Nasir menceritakan saat peringatan Maulid Nabi yang hampir berdekatan dengan perayaan Natal, pihaknya memutuskan untuk memajukan acara pengajian untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

“Natal tetap di tanggalnya, tapi kalau pengajian untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW kan bisa diundur atau maju. Itu tidak ada masalah. Pengajian kita gelar tanggal 23 Desember pada waktu itu sehingga tidak terjadi suatu peribadatan yang berbarengan,” jelasnya.

Selain itu, dia mengungkapkan saat umat Kristen melakukan ibadah kebaktian Natal di GKJ Joyodiningratan, pihak masjid juga memutuskan untuk menurunkan suara volume speaker masjid. Bahkan, pembacaan ayat suci Alquran yang dilakukan sebelum azan salat lima waktu juga dihilangkan.

“Suara azan melalui pengeras suara direndahkan. Untuk ngajinya (membaca Alquran sebelum azan), kita tidak ngaji tapi langsung azan. Jadi kita harus tahu diri karena mereka juga beribadah. Jadi jemaah masjid sudah paham kalau yang biasanya ada ngaji 10-15 menit tidak ada dan langsung azan,” ungkapnya.

Menurut Nasir pada saat pelaksanaan salat id yang memanfaatkan jalan di depan gereja dan masjid, biasanya pihak gereja juga akan ikut membantu membersihkan di depan bangunan tempat ibadah yang akan digunakan untuk salat id.

Baca Juga:   Ini Harapan Musa Rajekshah Kepada Pemuda GKPS untuk Kemajuan Sumut

Sedangkan saat perayaan Natal dan Paskah, halaman depan masjid ini difungsikan sebagai tempat parkir kendaraan para jemaat gereja, katanya.

“Biasannya kalau Natal dan Paskah, lampu di depan masjid ini dinyalakan untuk parkir karena halaman masjid ini jadi tempat parkir,” kata dia sambil menunjuk halaman masjid yang menjadi lokasi parkir.

Menjadi Rujukan

Kini kerukunan antara umat beragama yang terjadi di dua tempat ibadah itu menjadi semacam percontohan tentang toleransi antarumat beragama.

Tak hanya dari Indonesia, namun sejumlah perwakilan dari berbagai negara telah mendatangi dua bangunan tempat ibadah itu untuk belajar tentang kerukunan umat beragama.

“Sudah sering sekali dikunjungi seperti dari Inggris yang terdiri dari ustaz dan pendeta, Malaysia, Thailand dan negara lainnya. Sedangkan dari Indonesia dari belahan timur ke barat sudah pernah datang ke sini. Mereka datang untuk melihat kerukunan yang terjalin di lingkungan ini,” katanya.

Baca Juga:   Bareskrim Polri Buka Posko Pengaduan Korban EDCCash

Dari kunjungan para delegasi itu, menurut Nasir, mereka sangat takjub karena meskipun berbeda tidak terjadi gesekan. Bahkan, dua umat beragama yang tempat ibadahnya saling berdampingan ini juga saling rukun dan damai.

“Ternyata mereka menyatakan betul dan sangat rukun. Ini yang menjadi ikon bagi kita untuk selalu menjaga kerukunan. Kita sampaikan tidak hanya di Indonesia, tapi hingga dunia,” ungkapnya.

Salah satu jemaah Masjid Al Hikmah, Khalid Badres mengaku sangat senang dengan kerukunan yang terjalin antar pemeluk dua tempat ibadah tersebut. Ia pun merasa sangat nyaman dan tidak terganggu meskipun berbeda agama.

“Masjid Al Hikmah dan gereja memang selama ini rukun, tidak pernah terjadi apa-apa sama sekali. Kami di sini itu sudah seperti saudara, alhamdulillah,” kata Khalid yang merupakan keturunan Arab.

Ia sendiri telah tinggal di kampung yang menjadi lokasi dua tempat ibadah yang berbeda itu sejak 40 tahun. Selama puluhan tahun itu, Khalid mengaku belum pernah terjadi gesekan sedikit pun antar umat beragama.

“Kita selalu bekerjasama jika ada apa-apa. Kalau di gereja ada apa-apa, kita hormati. Kalau di masjid ada kegiatan, gereja juga hormat. Kalau kita butuh bantuan, mereka akan membantunya. Karena kita keluarga,” katanya bangga.

Baca Juga:   Danrem 032 Silaturrahim ke BLK dan Tinjau Fasilitas Pendidikan

Terpisah, salah satu jemaat GKJ Joyodiningrata, Susiati mengaku sangat suka ketika pertama kali menjadi jemaat gereja tersebut, pasalnya bangunan gereja ini berdampingan masjid.

Tak hanya itu, ia juga merasa takjub dengan kerukunan yang terjalin di antara umat gereja dan masjid.

“Saya dari kecil sampai dewasa belum pernah melihat yang namanya masjid dan sampingnya gereja,” kata dia yang merupakan warga pendatang di Solo.

Susiati mengungkapkan pengalaman yang paling mengesankan menjadi jemaat di gereja tatkala terdapat hari besar umat Islam yang jatuh pada hari Minggu, seperti Idul Fitri dan Idul Adha.

Pada dua hari besar itu umat Islam melaksanakan salat id di jalan depan gereja sehingga pihak gereja memutuskan untuk memundurkan jadwal ibadah kebaktian pagi demi menghormati umat Islam.

“Kebaktian pagi itu kan jam 06.30 WIB, sedangkan salat id katakanlah sekita pukul 06.0 WIB. Kita mundur dulu jam kebaktiannya pagi karena dari pihak gereja menghormati untuk memberikan kesempatan umat Islam melakukan salat id,” ujarnya.(MS1/BBC)