Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
ArtikelBerita SumutHeadlineNasionalOpiniSumut

Polemik Penerapan Hukum Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016

×

Polemik Penerapan Hukum Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016

Sebarkan artikel ini

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 telah dimulai sejak dikeluarkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program Dan Jadwal, Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.

Oleh : Rudianto
          (Advocad)

Dengan dikeluarkannya PKPU dimaksud, maka suatu pertanda bahwa persiapan kontestasi pilkada telah dimulai. Baik KPU maupun Bawaslu pada daerah yang akan menyelenggarakan pilkada sudah mulai disibukkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan persiapan dalam pemilihan kepala daerah pada daerahnya masing-masing.

KPU bekerja secara teknis penyelenggaraan sementara Bawaslu mengawasi jalannya penyelenggaraan agar terlaksana sesuai dengan nilai-nilai demokratis.

Oleh karena itu, dengan dimulainya tahapan penyelenggaraan ini, maka tentu terdapat adanya potensi pelanggaran pemilihan yang akan terjadi dan perlu dipahami oleh Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilihan juga sebagai lembaga yang menangani pelanggaran Pemilihan.

Tentang Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016

Potensi pelanggaran pemilihan pada tahapan awal ini yang secara umum telah diketahui adalah berkenaan dengan Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, adapun Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 yang redaksinya adalah sebagai berikut:

Pasal 71
Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
Dalam hal ini, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Baca Juga:   Kunker Ke Kejari Tebing Tinggi, Kajati Ingatkan Peserta Vaksin Tetap Patuhi Protokol Kesehatan

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika dicermati bunyi Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 dan dihubungkan dengan lampiran PKPU Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa jadwal Penetapan Pasangan Calon adalah pada tanggal 8 Juli 2020, maka dapat disimpulkan terhitung sejak 8 Januari 2020 Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

Sejalan dengan hal tersebut, pada Pasal 71 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 dan dihubungkan dengan lampiran PKPU Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa jadwal Penetapan Pasangan Calon adalah pada tanggal 8 Juli 2020, maka Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain.

Dari apa yang terdapat dalam norma hukum pada Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) dimaksud, dapat dijadikan dasar bagi masyarakat untuk membuat laporan dugaan pelanggaran Pemilihan. Maka dari itu, Bawaslu sebagai lembaga yang memiliki kewenangan memroses laporan dugaan pelanggaran pemilihan harus jeli/teliti dalam membuat kajian agar tidak keliru memberikan rekomendasi kepada pihak yang berwenang. Dari Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) dimaksud menimbulkan diskursus yang sangat menarik bagi Penulis untuk dibahas, yaitu; Pertama, berkaitan dengan Pasal 71 ayat (2); penggantian jabatan adalah kewenangan Kepala Daerah sesuai dengan kebutuhannya. Maka timbul pertanyaan; Apakah pengisian jabatan pada daerah merupakan kebijakan pemerintahan secara teknis atau kebijakan politis oleh Kepala Daerah sehingga Pasal 71 ayat (2) membatasinya? Bila pergantian jabatan memang harus dilakukan karena hal yang mendesak/urgen, sehingga tidak cukup waktu untuk menunggu izin dari menteri dikarenakan hal tertentu (misalnya: pejabat semula sakit keras) demi jalannya pemerintahan, maka berdasarkan Pasal 71 ayat (2) hal tersebut merupakan pelanggaran Pemilihan. Kedua, berkaitan dengan Pasal 71 ayat (3); Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain.

Baca Juga:   Inilah Asal Sekolah Para Pelajar Berprestasi yang Meraih Apresiasi Gubsu

Jika masyarakat yang memiliki hak pilih membuat laporan ke Bawaslu setempat tentang perbuatan kepala daerah dimaksud diduga telah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan (pihak yang dianggap oleh masyarakat) salah satu pasangan calon, yang mana laporan tersebut disampaikan rentang waktu antara tanggal 8 Januari sampai dengan 7 Juli 2020 (belum penetapan pasangan calon), maka perbuatan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan tersebut tidak memenuhi unsur sebagaimana legal formal. Akan tetapi fenomena ini akan menjadi polemic dimasyarakat. Sebab, masyarakat setempat sudah tahu pihak-pihak yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerahnya.

Tentang Sanksi
Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 memiliki 2 (dua) jenis sanksi yang dapat dijerat kepada pelakunya, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana Pemilihan. Sebagaimana Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 menentukan pemeberian sanksi administrasi yaitu berupa sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, Pasal 187 ayat (6) dan Pasal 188 yang merupakan sanksi pidana Pemilihan, yang redaksinya sebagai berikut :

Pasal 187 ayat (6)
Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau member dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 188
Setiap penjabat negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Dari kedua dalil sanksi pidana pemilihan Pasal 187 ayat (6) dan Pasal 188 terdapat perbedaan yang mendasar. Menurut hemat Penulis ketentuan Pasal 187 ayat (6) tidaklah jelas dan sulit untuk diterapkan jika dihubungkan dengan Pasal 71. Sebab frasa “tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71” sangatlah bias. Apa ukuran yang dikatakan memenuhi kewajiban Pasal 71? Jika harus menerapkan hukum pidana pemilihan berkaitan dengan Pasal 71, menurut Penulis yang relevan diguanakan adalah Pasal 188 yang mana redaksi Pasalnya cukup jelas apa yang dimaksud pada norma pasal tersebut.

Baca Juga:   Suara Gerindra Berkurang, MK Minta Hitung Ulang Dapil 9 Sumut

Akan tetapi, timbul pertanyaan; dimana perbedaan penerapan sanksi, Apakah Pasal 71 ayat (5) yang merupakan sanksi Administrasi atau Pasal 188 yang merupakan sanksi pidana Pemilihan? Memang Pasal 71 ayat (5) menyebutkan secara spesifik tentang pihak yang dilarang (subjek hukum) yaitu: Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana. Berbeda dengan Pasal 188 yang menyebutkan (sebagai subjek hukum) “Setiap penjabat Negara”. Pejabat Negara dalam hal ini dapat diartikan sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dan tidak menutup kemungkinan bagi petahana. Artinya terdapat 2 (dua) sanksi hukum yang aktif untuk menjerat pelaku pelanggar Pasal 71 UU No. 10 Tahun 2016 ini. Menurut hemat Penulis, penerapan sanksi pidana Pemilihan sebagaimana Pasal 188 adalah terletak pada unsur “kesengajaan”.

Dalam Pasal 188 menggunakan frasa “dengan sengaja” yang berbeda dengan Pasal 71 ayat (5) tidak menggunakannya. Sebagaimana diketahui dalam teori hukum Pidana unsur kesengajaan dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), 2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn), 3) kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).

Kesimpulan

Menerima dan memroses Laporan dari masyarakat yang memiliki hak pilih adalah tugas Bawaslu daerah yang melaksanakan Pilkada. Maka, Bawaslu tidak boleh menolak Laporan masyarakat meskipun laporan tersebut masih premature atau tidak ada dasar hukum yang kuat. Hal ini adalah upaya untuk mengakomodir partisipasi masyarakat dalam pengawasan hajatan pemilihan kepala daerah. Memang suatu hal yang dilema bagi Bawaslu yang diberi kewenangan penindakan tehadap pelanggaran Pemilihan. Namun, dalam undang-undang No 10 Tahun 2016 maupun aturan tentang Pemilihan lainnya tidak ada menyebutkan/membenarkan Bawaslu untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan. Sehingga bahwaslu harus ikhtiyat (hati-hati) dalam memberikan rekomendasi.