Scroll untuk baca artikel
Berita SumutHeadlineHukrimSumut

Ranto Sibarani Minta KY Awasi Sidang Oknum Pendeta Cabul

×

Ranto Sibarani Minta KY Awasi Sidang Oknum Pendeta Cabul

Sebarkan artikel ini

MEDAN – Pengacara orangtua korban pencabulan, Ranto Sibarani meminta Komisi Yudisial (KY) mengawasi persidangan oknum pendeta yang juga Kepala Sekolah Dasar (SD) Galilea Hosana BS yang mulai diadili di Pengadilan Negeri (PN) Medan.

Hal tersebut disampaikan Ranto Sibarani, di Medan, Kamis (30/9/2021) kepada sejumlah wartawan.

Ranto Sibarani membuat surat ke Komisi Yudisial RI karena proses persidangan dirasa sarat kejanggalan. Ranto meminta agar sidang perkara nomor 2250/Pid.Sus/2021/PN Mdn benar-benar diawasi oleh Komisi Yudisial.

Menurut Ranto Sibarani, pada persidangan pemeriksaan saksi korban pada tanggal 16 September 2021 lalu, pemohon sebagai kuasa hukum telah memohon kepada Majelis Hakim untuk dapat menghadiri dan mengikuti persidangan tersebut.

“Namun dengan alasan sidang tertutup, majelis hakim yang diketuai Zufida Hanum meminta kami selaku kuasa hukum untuk meninggalkan persidangan,” kata Ranto.

Setelah Ranto dan timnya meninggalkan ruang persidangan, ternyata penasihat hukum terdakwa BS melontarkan pertanyaan yang dirasa tidak patut.

Baca Juga:   Nilai Memuaskan, Pirlo Akhirnya Kantongi Lisensi Sebagai Pelatih

“Penasihat hukum terdakwa bertanya kepada saksi korban yang merupakan anak di bawah umur dengan pertanyaan, ‘mengapa saudara mau diajak ke hotel berulang kali? Apakah saudara keenakan?’. Hal tersebut ditanyakan kepada RM, anak dibawah umur yang merupakan korban pelecehan seksual,” tandasnya.

Atas pertanyaan yang terkesan menyudutkan itu, kata Ranto, pihaknya selaku kuasa hukum korban merasa keberatan dengan pertanyaan penasihat hukum terdakwa BS.

Selain itu, pihaknya juga menyayangkan majelis hakim yang tidak disiplin waktu dan tidak memperhatikan hak-hak saksi korban yang merupakan anak dibawah umur.

Bahwa pada persidangan pemeriksaan saksi korban pada tanggal 23 September 2021, dua orang saksi korban yang merupakan anak berusia 14 tahun telah hadir di Pengadilan Negeri Medan sejak pukul 13.00 WIB sesuai dengan surat panggilan saksi.

Baca Juga:   Ini Dia Hasil Latihan Bebas 4 MotoGP Spanyol 2020

Namun, lanjut Ranto, persidangan justru diselenggarakan pukul 17.30 WIB, atau terlambat selama lebih dari empat jam.

“Hal tersebut jelas-jelas telah mencederai hak-hak anak yang merupakan korban pelecehan seksual, dimana anak korban pelecehan seksual tersebut harus menunggu lebih dari empat jam untuk dimulainya persidangan,” katanya.

Ranto menilai persidangan tanggal 23 September 2021 di pengadilan Negeri Medan tidak menghargai waktu dan hak anak korban pelecehan seksual.

“Dimana persidangan tersebut berlangsung dengan terburu-buru, padahal saksi korban yang merupakan anak dibawah umur sudah menunggu lebih dari 4 jam untuk memberikan kesaksiannya sebagai korban pelecehan seksual,” katanya.

Berdasarkan kejadian tersebut, kata Ranto, pihaknya memohon kepada Ketua KY RI dan Penghubung KY di Provinsi Sumatera Utara, untuk melakukan pemantauan terhadap sidang lanjutan perkara pemohon.

“Agar pemohon sebagai masyarakat pencari keadilan dapat menjalani proses perkara dan/atau Peradilan yang jujur, bersih dan berwibawa tanpa adanya praktek-praktek kotor,” tegasnya.

Baca Juga:   Jangan Mudah Tergiur Kerja di Kamboja, Pengacara Ini Ingatkan WNI Agar Tidak Mudah Terjebak

Ranto Sibarani menegaskan, bahwa dalam KUHAP Pasal 166 dijelaskan bahwa “Pertanyaan yang bersifat menjerat, tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”. Jadi berdasarkan Pasal 166 KUHAP beserta penjelasannya tersebut, dilarang mengajukan pertanyaan menjerat baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.

Kemudian, tambah Ranto Sibarani dalam ketentuan Pasal, 7 Perma No. 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum “selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan yang berhadapan dengan hukum”.

“Harapan kita, proses persidangan benar-benar dijalankan dan tidak menjalankannya dengan praktik-praktik kotor,” tegasnya.