mediasumutku.com | JAKARTA – Ditengah kondisi perekonomian global serta kinerja bisnis secara umum yang masih melemah, pertumbuhan di sektor digital dan internet melonjak secara signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Hal tersebut diperkirakan terus berlanjut seiring tren konsumen dan perubahan gaya hidup yang melanda populasi urban di dunia, tak terkecuali kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia merupakan negara dengan populasi dan ekonomi terbesar.
“Perkembangan ekonomi digital tersebut, cepat atau lambat akan mempengaruhi bisnis properti di tanah air. Oleh karenanya, berbagai aspek dalam ekonomi digital perlu dipahami secara mendalam oleh para stakeholder properti untuk bisa bersaing dan bertahan dalam kompetisi bisnis nantinya,” ujar Director, Head of Research & Consultancy Savills Indonesia, Anton Sitorus beberapa waktu lalu.
Anton Sitorus mengatakan, Indonesia yang merupakan pangsa pasar online (internet) terbesar di Asia Tenggara memiliki potensi pertumbuhan ekonomi digital yang fenomenal. Mengutip hasil survey dari Google-Temasek-Bain beberapa waktu lalu, potensi pasar ekonomi digital Indonesia yang mencakup sektor e-commerce, online media, travel dan transportasi meningkat 5 kali lipat dari USD 8 milyar di tahun 2015 menjadi USD 40 milyar di tahun 2019 dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi USD 130 milyar atau IDR 1,900 trilyun di tahun 2025. Fenomena ekonomi digital tersebut sangat kontras dengan kondisi sektor bisnis konvensional yang dibayang-bayangi perekonomian global yang lambat.
“Hal itu terjadi seiring perubahan tren gaya hidup konsumen yang semakin terkoneksi dengan internet yang semakin canggih dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan masyarakat modern. Seperti sektor bisnis lainnya, sektor properti tidak akan bisa menghindari dampak fenomena disruption yang terjadi,” tegas Anton.
Saat ini saja, sambung Anton, sudah terlihat berbagai model bisnis baru yang menyaingi perusahaan properti konvensional, dimana cikap bakal usaha tersebut dilandasi konsep berbagi atau yang sering disebut sebagai ‘sharing economy’. Lebih lanjut dia menambahkan bahwa ‘sharing economy’ ini berkembang salah satunya akibat munculnya pergeseran pandangan konsumen atas konsep kepemilikan.
“Saat ini makin banyak orang yang merasa tidak terlalu perlu memiliki suatu barang/asset kalau bisa menikmati atau memanfaatkannya melalui skema sewa atau pinjam – baik secara perorangan maupun kolektif. Akibat hal tersebut, munculah bisnis seperti co-working, co-living, co-warehousing dll yang diminati oleh banyak perusahaan baru seperti start-up, e-commerce dan technology companies,” jelas Anton.
Rosaline Lie, Senior Director, Retail Services di Savills Indonesia menimpali, kalau dikelompokan, jenis perusahan berkonsep ‘sharing economy’ di sektor properti ada 4 (empat) kategori yaitu shared space (i.e. WeWork, CoHive, Spacelabs), financing (i.e. iFunding, Kickstarter, Gradana), marketing (i.e. Homie, 99.co) dan rental lodging (i.e. AirBnB, OYO, Travelio).
“Melihat kinerja sejumlah perusahaan tersebut dalam waktu yang relatif singkat, terlihat bahwa prospek bisnis ‘sharing economy’ di sektor properti sangat terbuka luas. Hal inilah yang harusnya diperhatikan oleh pengembang dan investor properti tradisional yang ada agar mampu bersaing ditengah derasnya arus pertumbuhan ekonomi digital,” ujar Rosaline.
Dampak perkembangan bisnis ‘sharing economy’ di sektor properti juga memberikan peluang bagi pemilik perorangan untuk menawarkan asset atau unitnya ke pasar dengan bekerja-sama melalui perusahaan start-ups yang ada, sehingga lebih mudah dan praktis. Hal yang sama pun bisa dilakukan oleh pengembang untuk memanfaatkan atau menawarkan unit-unitnya yang belum terjual ke pasar.
Sementara itu, Managing Director Savills Indonesia Craig Williams mengatakan, bahwa developer perlu lebih jeli dalam membaca permintaan pasar ke depan sekaligus kreatif dalam perencanaan produk dan strategi penjualan seiring perkembangan ekonomi digital yang fenomenal ini. Sejumlah gagasan yang perlu dipertimbangkan dalam tren properti di masa depan antara lain yaitu jenis properti ‘high value’, fokus segmen kepada investor, konsep ‘beyond property’, produk yang mengadopsi teknologi pintar dan produk dengan efisiensi tinggi namun menawarkan kenyamanan yang tinggi pula.
Sedangkan terkait dengan kondisi pasar properti di Indonesia saat ini, Anton mengatakan perlu adanya terobosan pemikiran dari para pengembang untuk bisa merealisasikan ‘market recovery’ secara struktural. Salah satu hal yang menurutnya perlu dipertimbangkan adalah koreksi harga properti yang secara umum dipandang sudah terlalu tinggi akibat kenaikan yang tajam di periode yang lalu.
“Mungkin pengembang perlu untuk melakukan penjualan secara ‘flash sale’ atau ‘fire sale’ yang tepat di sejumlah produknya untuk menarik minat pembeli dan investor supaya pasar kembali marak dan bergairah,” pungkas Anton.[ms5]