Scroll untuk baca artikel
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
Media Sumutku Merah
Media Sumutku Biru
previous arrow
next arrow
Politik

Wacana Bola Liar Presiden Tiga Periode, Jangan Mundur ke Masa Lalu

×

Wacana Bola Liar Presiden Tiga Periode, Jangan Mundur ke Masa Lalu

Sebarkan artikel ini

Mediasumutku.comIJAKARTA-Wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode menjadi bola liar. Banyak pihak yang langsung menduga wacana itu sengaja diembuskan terkait dengan posisi Presiden Joko Widodo, yang baru saja memasuki periode kedua pemerintahannya.

Namun wacana tersebut juga dikhawatirkan sejumlah kalangan akan berdampak buruk pada sistem demokrasi yang sudah berjalan dengan baik sejak era Reformasi.

Pihak Istana Presiden pun telah bersuara bahwa Presiden Jokowi hingga saat ini tak pernah memiliki pemikiran ke arah itu. Sebagai presiden yang dipilih oleh rakyat, Jokowi akan mematuhi aturan yang ada saat ini bahwa masa jabatan presiden hanya dua periode sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. “Sampai hari ini, Presiden sama sekali tidak berpikir itu. Ini juga, kalau dibiarkan, menjadi kontraproduktif. Karena, bagaimanapun, mengubah amandemen UUD seperti membuka kotak Pandora,” ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kantor Setkab, Jakarta, Senin, 25 November 2019.

Menurut Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Arsul Sani, usulan penambahan periode jabatan presiden awalnya dikemukakan oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem). “Awalnya, NasDem duluan yang melempar. Kalau nggak salah, seingat saya Pak Johnny G Plate,” kata Arsul kepada detikX di ruang kerjanya di gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat, 22 November 2019.

Arsul menjelaskan ada tiga wacana yang berkembang terkait masalah penambahan masa jabatan presiden itu di kalangan anggota Dewan. Pertama, tetap lima tahun dan bisa dipilih satu periode lagi. Kedua, ada yang mengusulkan menjadi tiga periode. Ketiga, ada yang mengusulkan satu periode jabatan tetapi tiap masa jabatannya ditambah menjadi tujuh atau delapan tahun.

Argumentasi perpanjangan masa jabatan, ujar Arsul, didasari pertimbangan agar presiden yang sedang menjalankan pemerintahan bisa fokus bekerja, tidak memikirkan masa jabatan berikutnya. “Kalau di Filipina kan hanya satu periode itu tujuh tahun, tapi itu hanya sekali, nggak bisa dipilih lagi,” Arsul menambahkan.

Baca Juga:   Remaja Masjid Pecinta Alam Dukung Bobby Nasution

Namun NasDem membantah disebut sebagai pihak pengusul perubahan masa jabatan presiden. “Sebenarnya di kalangan masyarakat, kalangan pengusaha, juga ada. Coba jangan tanya saya. Kalau suara itu sampai ke NasDem, nggak ada salahnya dilihat, ya bukan berarti kemudian kami setuju,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi NasDem Lestari Moerdijat kepada detikX di ruang kerjanya, gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin, 25 November 2019.

Menurut Lestari, dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya memang disebutkan jabatan presiden itu harus ada batasannya. Sampai saat ini aturan itu jabatan presiden hanya dimandatkan untuk dua periode, yang setiap periodenya hanya lima tahun. “Inilah kemudian yang menjadi wacana. Ini kan diskursus, biarkan saja berkembang dulu, lalu kita lihat,” jelasnya lagi.

Masalah penambahan masa jabatan presiden ini perlu dikaji secara menyeluruh dan tak boleh parsial. Karena itu, perlu dibahas ketika ada rencana akan mengamandemen UUD 1945. Semua persoalan yang muncul dari masalah A hingga Z dicatat menjadi daftar isian masalah, lalu disaring kembali dan ditentukan skala prioritas yang akan dibahas secara serius dan mendalam. “Jadi itu konteksnya, tapi tidak kemudian kita dibilang langsung minta tiga periode gitu, nggak. Semuanya kembali lagi pada SOP,” ucap Lestari.

Sebenarnya Indonesia mempunyai pengalaman buruk dengan masa jabatan presiden terlalu lama hingga lebih dari dua periode. Sebut saja ketika era Orde Lama ketika Sukarno berkuasa selama 21 tahun. Begitu juga pada era Orde Baru ketika Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Negara menjadi oligarki dan otoriter. Pemerintahan tak akuntabel dan sulit dikontrol. Juga merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta masyarakat di posisi yang lemah.

Baca Juga:   Rapat Paripurna Laporan Hasil Reses Anggota DPRD Medan dari Dapil 1-5, Masih Banyak Keluhan Terkait Infrastruktur dan UHC

“Tentunya kita tidak mau kembali mundur ke masa-masa itu. Jadi pengalaman panjang kita dan juga amanat reformasi yang amat jelas mestinya menjadi pegangan kita dalam bernegara,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada detikX, Jumat, 22 November 2019.

Menurut Titi, wacana penambahan masa jabatan presiden justru akan membuka kotak Pandora atau membuka permasalahan baru yang bisa membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Semua pihak diminta mewaspadai adanya upaya memperpanjang masa jabatan presiden itu. Sudah banyak contoh negara demokrasi yang tiba-tiba hancur begitu saja karena pengaturan batasan masa jabatan presidennya dihilangkan.

“Contoh Venezuela, itu kan contoh yang sangat nyata. Dimulai ketika mereka mengamandemen konstitusi, memperluas kekuasaan eksekutif dengan menghilangkan pembatasan masa jabatan,” terang Titi.

Titi mengingatkan lagi, jangan sampai negara demokratis yang dibangun sejak Reformasi mundur gara-gara segelintir orang yang menghendaki perpanjangan masa kekuasaan seorang presidennya. Indonesia merupakan negara republik yang dipimpin seorang presiden yang memiliki kekuasaan tak absolut dan dibatasi. Hal itu untuk menjamin akuntabilitas pengelolaan pemerintahan dan proses rekrutmen politik yang terbuka.

“Lagi pula orientasi kepemimpinan itu jangan pada figur, melainkan pada sistem, sehingga siapa pun figur yang memimpin, kalau sistem yang bekerja baik, itu kan tidak ada masalah. Keruntuhan suatu bangsa itu bermula dari orientasi kita terlalu tersandera pada orientasi figur,” ucap Titi.

Jabatan presiden lima tahun dalam satu periode dan bisa dipilih lagi pada periode kedua dianggap Titi sudah sangat cukup. Ia membandingkan kondisi di Amerika Serikat, yang masa jabatan presiden hanya empat tahun dalam satu periode dan bisa dipilih untuk dua periode. Lalu di Filipina, masa jabatan presiden bisa sampai tujuh tahun dalam satu periode. “Nah, lima tahun ini, kalau kita bandingkan dengan praktik yang ada di internasional, saya kira cukup memadai untuk kepemimpinan seorang presiden,” ucap Titi.

Baca Juga:   Ketua DPRD Medan Apresiasi Langkah Tegas Walikota Medan Terkait Proyek Lampu Pocong

Titi menyebutkan penambahan periode masa jabatan presiden bisa menghambat tokoh lainnya yang akan maju dalam Pilpres 2024. Juga bisa merusak kaderisasi dan rekrutmen politik yang demokratis. “Usulan untuk tiga periode ini seolah-olah kita krisis kader, krisis putra-putri terbaik bangsa, juga melihat itu tadi pengkultusan individu,” ujar Titi.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan perdebatan periode masa jabatan presiden tidak akan mempengaruhi masa jabatan Presiden Jokowi saat ini. Jokowi tetap menjabat sebagai presiden hingga 2024. Yang harus dipikirkan adalah desain periode jabatan presiden pada masa yang akan datang.

“Nah, soal desain ke depannya, menurut saya, kita harus sungguh-sungguh memikirkan tentang dua usulan ini, yaitu masa jabatan satu periode saja tapi durasinya enam sampai tujuh tahun atau boleh lebih dari satu periode tapi tidak berlarut-larut,” kata Refly dalam diskusi ‘Menyoal Periode Ideal Jabatan Presiden’ di kawasan Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 24 November 2019.

Sedangkan Ketua DPR Puan Maharani menyebutkan wacana masa jabatan presiden sebanyak tiga periode masih perlu dikaji. Ia mengaku belum bisa memberikan tanggapan lebih jauh mengenai masalah itu dan perlu mengikuti kajian dengan komisi di DPR terlebih dahulu. Rencananya, masalah ini akan dibahas di Komisi II DPR, yang membidangi masalah pemerintahan.

“Ya itu masih wacana, tentu itu harus dikaji kembali secara baik. Jangan sampai kita mundur ke belakang. Jadi ini akan jadi wacana yang akan kita bicarakan di Komisi II, gimana UU dan lainnya,” kata Puan kepada wartawan di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 25 November 2019.(ms4/Detik.com)