Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Analis: Rupiah Masih akan Terapresiasi dalam Jangka Pendek

×

Analis: Rupiah Masih akan Terapresiasi dalam Jangka Pendek

Sebarkan artikel ini

mediasumutku.com | JAKARTA – Berdasarkan perdagangan kemarin, kur rupiah masih menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), Senin (13/1). Rupiah pasar spot ditutup menguat 0,71% ke Rp 13.673 per dolar AS.

Secara year to date (ytd), rupiah merupakan mata uang dengan penguatan tertinggi di Asia dengan penguatan sebesar 1,41% ytd kemudian diikuti Chinese Yuan dan Indian Rupee

Ekonom Bank Negara Indonesia Ryan Kiyanto mengatakan rupiah masih akan terapresiasi dalam jangka pendek. Apresiasi rupiah didorong oleh faktor internal dan eksternal.

Dari dalam negeri, perkembangan makro ekonomi Indonesia mencatatkan kinerja positif dengan perincian, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di atas 5%.

Tingkat inflasi terjaga dibawah 3%. Bahkan di bulan Desember 2019, tingkat inflasi turun menjadi 2,72%. Kinerja positif makro ekonomi mendorong minat investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Baca Juga:   Pelindo II Buka Lowongan Kerja untuk Posisi Pilot Service

“Ada tendensi kenaikan investasi langsung baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Outlook perekonomian Indonesia di mata pasar tumbuh berkisar 5,2% hingga 5,4%,” jelas Ryan.

Sedangkan, suntikan eksternal yang akan membuat rupiah terapresiasi adalah respon positif investor asing terhadap pelelangan Surat Utang Negara (SUN) dengan yield yang terus menurun serta rebound IHSG.

Sebelumnya pemerintah menggelar lelang SUN dalam dua mata uang asing pada Rabu (8/1). Penawaran yang masuk sebesar Rp 81,54 triliun atau oversubscribe dari target maksimal yakni 22,5 triliun. Oversubscribe menunjukkan antusiasme investor asing terhadap Indonesia.

Optimisme pasar menyambut kesepakatan dagang fase I antara Amerika Serikat (AS) dan China serta menurunnya tensi di Timur Tengah antara AS dan Iran di Timur Tengah juga menjadi stimulus penguatan rupiah dalam jangka pendek.

Baca Juga:   Realisasi Pendapatan Daerah Tahun 2019 Capai 93,20%

Namun, untuk jangka menengah belum diketahui kesepakatan selanjutnya antara AS dan China sehingga pasar masih perlu berhati-hati.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan rupiah mempunyai risiko pelemahan pada jangka menengah dan jangka panjang.

Menurutnya faktor eksternal yang akan mengancam rupiah adalah kebijakan moneter the Fed, dinamika pemilu AS pada 3 November tahun ini, serta tensi geopolitik yang mungkin muncul secara spontan.

Sedangkan dari sisi domestik masih ada katalis negatif. Salah satunya datang dari data neraca perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia diprediksi masih akan mengalami defisit. “Defisit berpotensi membatasi penguatan rupiah lebih lanjut,” tuturnya.

Josua memprediksi dalam jangka pendek rupiah akan bergerak pada rentang Rp 13.600 hingga Rp 13.800 per dolar AS. Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang Josua memperkirakan rupiah akan cenderung stabil di kisaran Rp 14.000 per dolar AS.

Baca Juga:   2020, Pergerakan Rupiah Masih akan Relatif Stabil

Di sisi lain, Ryan memperkirakan dalam jangka pendek rupiah bergerak di rentang Rp 13.650 hingga Rp 13.750 per dolar AS. Sedangkan ketika ditanyai perkiraan jangka menengah dan jangka panjang, Ryan menolak menjawab dan hanya mengatakan tidak perlu gegabah.