mediasumutku.com| MEDAN-Berdasarkan data series produksi lima tahun terakhir, produksi cabai rawit pada bulan Desember-Februari adalah bulan waspada karena produksi cenderung menurun dibanding bulan-bulan lainnya. Dan untuk saat ini dengan adanya cuaca ekstrim (La Nina) semakin menyebabkan produksi terganggu. Seperti, bunga rontok menyebabkan gagal berbuah.
Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto menyebutkan, proses pemasakan buah menjadi lebih lama karena kurangnya intensitas cahaya matahari. Masa produktif tanaman juga menjadi lebih pendek, yang biasanya 12-20 kali petik saat ini hanya 8-12 kali petik karena pematangan buah menambah hari petik yang biasanya 4 hari bisa 7 sd 8 hari per sekali petik.
“Tak hanya itu, musim hujan juga meningkatkan serangan OPT seperti virus kuning, antraknosa, lalat buah, dan lain sebagainya,” ujarnya, Senin (8/3/2021).
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebut Prihasto, serangan OPT terbanyak adalah virus kuning 26 persen, antraknosa 29 persen, Lalat buah 17 persen, virus keriting 16persen, dan Thrip 12 persen dari luas pertanaman yang ada. Sehingga, secara nasional luas pertanaman cabai yang terkena serangan OPT saat ini sebanyak 1.152 ha dan puso 0,15 ha.
“Virus kuning menyebabkan tanaman tidak berkembang dan tidak produktif. Jika tanaman yang terserang masih bertahan, maka produktivitasnya menurun 20-30 persen. Sedangkan serangan antraknosa dan lalat buah yang masif mendorong petani untuk memanen buah sebelum waktunya sehingga kualitas buah menjadi turun,” jelasnya.
Cuaca ekstrim ini juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah sentra produksi cabai.
“Dampaknya, pertanaman rusak bahkan puso. Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Hortikultura, total luas pertanaman cabai nasional yang banjir dan puso pada bulan Oktober hingga Desember 2020 seluas 431 hektar yang tersebar di Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Januari hingga Februari 2021 seluas 404,7 hektare yakni, di Kalsel, Sumut, Sumbar, Sulteng, Kalbar, Jambi, Jatim, dan NTT,” ucapnya.
Hamid selaku ketua Asosiasi Cabai Indonesia dan Juhara salah satu champion Cabai, membenarkan hal tersebut. Dia menjelaskan, berdasarkan pantauan dari seluruh anggota perwakilan di daerah sentra, berkurangnya produksi cabai saat ini juga dikarenakan berkurangnya luas tanam.
“Petani sempat merugi karena rendahnya harga cabai akibat pandemi covid-19 yang terjadi pada bulan Maret s.d September 2020. Hal tersebut membuat banyak petani tidak balik modal bahkan merugi. Sehingga pada musim tanam saat ini mereka mengurangi populasi pertanaman cabainya. Luas tanamnya berkurang, sehingga produksi juga berkurang. Jadi efek berantai tersebut menjadi akumulasi terhadap penurunan produksi,” imbuhnya.(MS11)