Medan, Mediasumutku.com – Sebuah kisah penghormatan terhadap budaya suku Batak di ‘Kampung Batak’ Jakarta diangkat ke layar lebar, sekaligus ingin menunjukan eksistensi budaya ‘Bangso Batak’ ditengah peradaban bangsa. Film Horas Amang ‘Tiga Bulan Untuk Selamanya’ karya sutradara Irham Acho Bahtiar dan Steve RR Wantania ini resmi ditayangkan secara serentak di seluruh Bioskop di tanah air, Kamis (26/9/2019).
Film yang dibintangi aktor senior Cok Simbara, Piet Pagau, Tanta Ginting, serta pendatang baru Dendi Tambunan, Novita Dewi Marpaung dan Jack Marpaung ini tidak semua melibatkan orang Batak. Namun film ini terbilang sangat menarik karena film yang digarap Irham Acho Bahtiar dan Steve Wantania ini memiliki alasan utama ingin mengangkat keaslian budaya Bangso Batak, terutama ingin menunjukan kepada keturunan Bangso Batak yang hidup di Ibu Kota.
Tak hanya itu, pembuktian lain yang dilakukan sutradara film Horas Amang dengan mencari dua orang aktris yang mampu berdialek batak, keduanya yakni Keysara Flajsova yang berperan sebagai Arta semasa kecil dan Vanessa Anggraeni yang berperan sebagai Arta dewasa dalam film ini.
“Sehingga kami mengadakan casting, audisi itu di Pematangsiantar. Dari begitu banyaknya yang ikut (audisi) tiga ratusan orang waktu itu, terpilih lah dua aktris (asli Kabupaten Pematangsiantar), mereka asli orang sini sehingga ketika mereka (didengar) logatnya pas banget,” ujar Steve Wantania dalam jumpa pers yang digelar pihak managemen di Cinemax Sun Plaza Medan, Kamis (26/9/2019) didampingi Jufriaman Saragih, Jack Marpaung, Dendi Tambunan, Keysara Flajsova serta Vanessa Anggraeni.
Meski dianggap memiliki talent yang baru dalam film Horas Amang, sutradara Steve meyakini masing-masing pemeran memiliki kemampuan di dunia akting.
“Saya percaya bahwa orang-orang yang saya pilih ini adalah orang-orang yang punya talenta, sehingga (proses) apa yang kami lakukan melalui coaching selama hamper dua bulan, dan para pemain ini dilibatkan dalam latihan yang diajarkan Ibas Saragih yang juga penulis dari film ini (sutradara teater),” urainya.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait sumber dan besaran budget yang telah digelontorkan untuk menggarap film ini, Steve enggan berkomentar jauh terkait itu. Namun, ia mengaku telah menghabis dana senilai Rp 5 miliar untuk mengerjakan film Horas Amang ‘Tiga Bulan Untuk Selamanya’.
“Terus terang aja, ini (sumber) dana dari pribadi dalam (dana dari) perusahaan Prama Gatra Film tidak ada dana dari sponsor atau dana dari pemerintah tidak ada, semuanya murni dari Prama Gatra Film,” tegas Steve.
“Film daerah itu sebenarnya bagus tapi kurang diangkat. Nah, melalui film (Horas Amang) ini kembali lagi diajak untuk menghargai kebudayaan Batak. Walau pun (film) ini secara universal bisa dinikmati oleh seluruh warga di Indonesia,” ujar Sutradara Film Horas Amang.
Kesan dan Tantangan Film Horas Amang
Hadir ditengah ketertarikan generasi milenial terhadap film-film asia, film Horas Amang dirasa mengalami tantangan, lantas apa yang menarik dari film ini, sehingga mampu bersaing dengan film-film layar lebar dari luar, apa lagi film ini hanya mengisahkan tentang budaya kehidupan Bangso Batak. Sebagai seorang Sutradara Steve pihaknya merasa memiliki strategi dalam menarik para penonton akan film Horas Amang.
“Film ini berbahasa Indonesia, itu satu. Film ini bukan berbahasa Batak, tapi keluarganya berlatar belakang batak, budayanya budaya batak tetapi bahasanya tetap bahasa Indonesia sehingga semua orang mudah memahami, walau pun ada sisipan bahasa Bataknya,” urainya.
“Kedua yang bermain di film ini ngak semua orang batak, memang peran utamanya orang batak tetapi ada juga yang kita jaring dari luar orang batak untuk menjangkau penonton-penonton diluar suku batak. Contohnya Dodi Epen Jupen (dari Papua), Akbar Nasdar itu dari Makassar, ada juga dari Jakarta dan lain sebagainya. Piet Pagau dari Kalimantan sehingga kita berharap bisa merangkul semua suku yang ada,” ujarnya lagi.
Sinopsis film ini, kata Jufriaman Saragih sebagai produser film Horas Amang, harus selalu menyayangi orangtua meski terbilang sukses dalam karir.
Sebelumnya film karya Irham Acho Bachtiar dan Steve RR Wantania ini telah diproduksi di kawasan Danau Toba, pulau Samosir serta di Jakarta. Film ini kental dengan budaya Batak lewat alunan serta tarian dan kesenian Batak melalui lagu ‘Anakku Naburju’ dan lebih menariknya seluruh pemain dalam film ini menggunakan dialek Batak. (MS2/MS2)