Scroll untuk baca artikel
ArtikelBerita SumutHeadlineHukrimMedanSumut

Restorative Justice : Upaya Kejaksaan Memulihkan Kedamaian dan Harmoni dalam Masyarakat

×

Restorative Justice : Upaya Kejaksaan Memulihkan Kedamaian dan Harmoni dalam Masyarakat

Sebarkan artikel ini

Jaksa Agung RI ST Burhanuddin dalam sebuah kesempatan menyampaikan “Saya tidak menghendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam buku, dalam KUHP atau KUHAP, melainkan ada di dalam hati nurani kalian. Camkan itu!”.

Oleh : James P Pardede

Pernyataan Jaksa Agung tersebut menjadi seruan dan instruksi kepada seluruh jajaran agar tidak main-main dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Wujud nyata pemberian rasa keadilan kepada masyarakat dituangkan dalam Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).

Pada awalnya, penghentian penuntutan dengan penerapan keadilan restoratif (RJ) mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Ada yang menyampaikan upaya ini menjadi ajang jaksa mendapatkan ‘sesuatu’ dengan penghentian penuntutan ini. Seiring waktu berjalan, masyarakat mulai memilah-milah pernyataan dari orang-orang tertentu yang melekatkan dugaan negatif terhadap penerapan RJ ini.

Padahal, kalau mau dilihat beberapa daftar perkara yang telah dihentikan dengan pendekatan RJ adalah berasal dari masyarakat yang benar-benar menuntut rasa keadilan. Hanya karena mencuri handphone demi untuk kebutuhan anak bisa belajar online, Kejaksaan akhirnya menghentikan perkara ini demi untuk mewujudkan rasa keadilan kepada masyarakat, bahkan si ayah yang mencuri HP tadi dihadiahi HP baru oleh jaksanya.

Baru-baru ini, Kejari Simalungun menghentikan satu perkara pencurian kelapa sawit yang dilakukan oleh tersangka atas nama Fadely Arbi. Tersangka memanen buah kelapa sawit milik PTPN IV Kebun Tinjowan tanpa seizin pihak kebun dan hasilnya dijual agar mendapatkan uang. Dan, uang hasil penjualan nantinya akan dipergunakan untuk melengkapi administrasi tersangka melamar pekerjaan.

Perkara lainnya yang dihentikan dengan pendekatan RJ adalah dari Kejari Asahan dengan tersangka Dimas Rizky Prananda, dipersangkakan melanggar Pasal 310 Ayat (3) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4)”.

Baca Juga:   PPKM Diperpanjang, Patroli Prokes Terus Berlanjut

Seperti tertuang dalam posisi kasusnya, dimana kronologisnya, tersangka Dimas Rizky Prananda mengendarai becak bermotor menabrak becak bermotor yang dikendarai Fendy Pradana membonceng isterinya Evin Yohana yang datang dari arah berlawanan di Jalan Kisaran-Tanjung Balai.

Karena sudah ada proses perdamaian, dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, maka perkaranya dihentikan dan tidak dilanjutkan ke persidangan.

96 Perkara

Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, SH,MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH,MH saat dikonfirmasi, Senin (17/10/2022) terkait perkara yang sudah dihentikan di wilayah hukum Kejati Sumut, hingga pertengahan Oktober 2022 sudah ada 96 perkara yang dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ.

Kajati Sumut Idianto, SH,MH didampingi Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH,MH

“Sebenarnya, perkara yang diajukan di wilayah hukum Kejati Sumut lebih dari 96 perkara. Tapi pada akhirnya yang berhasil disetujui dan dihentikan adalah 96 perkara pidana umum,” kata Yos A Tarigan.

Menepis adanya anggapan dari beberapa kalangan terkait penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ ini, dengan tegas Yos menyampaikan bahwa dalam hal penentuan dan pemilihan perkara yang bisa dihentikan dengan pendekatan RJ harus mengikuti proses panjang dan usulannya disampaikan secara berjenjang.

Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 Perja Nomor 15 Tahun 2020, kewenangan Penuntut Umum dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan: kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respon dan keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain itu, lanjut Yos A Tarigan, Penuntut Umum dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif juga dilakukan dengan mempertimbangkan: subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana; tingkat ketercelaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; cost and benefit penanganan perkara; pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

“Hal lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan keadilan restoratif adalah adanya syarat pokok yang harus terpenuhi, diantaranya: tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,” papar Yos yang juga mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang.

Baca Juga:   Warga Desa Gelam Sei Serimah Inginkan Perbaikan Irigasi

Secara Berjenjang

Penerapan restorative justice sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam penyelesaian perkara pidana, kata Yos Tarigan didasarkan atas beberapa kebijakan yaitu: pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation).

“Melalui pendekatan keadilan restoratif korban dan pelaku tindak pidana diharapkan dapat mencapai perdamaian dengan mengedepankan win-win solution, dan menitikberatkan agar kerugian korban tergantikan dan pihak korban memaafkan pelaku tindak pidana,” tandasnya.

 

Asisten Bidang Tindak Pidana Umum (Aspidum_ Kejati Sumut Arief Zahrulyani, SH,MH

Sementara Aspidum Kejati Sumut Arief Zahrulyani, SH,MH saat ditemui diruangannya menyampaikan bahwa penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif tidak serta merta dilakukan begitu saja.

“Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Ada banyak aspek yang perlu menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum untuk melakukan penghentian penuntutan, salah satunya adalah alasan kemanusiaan dan rasa keadilan yang sesungguhnya,” papar Arief Zahrulyani.

Usulan terhadap sebuah perkara, kata Arief dilakukan secara berjenjang mulai dari JPU ke Kasi Pidum, kemudian diusulkan ke Kajari dan Kajari mengusulkan ke Aspidum dan selanjutnya diusulkan Wakajadi dan ke Kajati. Dalam proses pengusulan ini, beberapa hal terkait perkara, tersangka dan korban menjadi perhatian penting. Setelah nantinya diusulkan dan dilakukan ekpose secara daring dihadapan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), maka penentuan akhirnya adalah ketika perkara itu disetujui atau tidak untuk dihentikan. Kalau disetujui, maka perkaranya dihentikan. Apabila tidak disetujui, maka perkaranya dilanjutkan,” jelasnya.

Jadi, tambah mantan Kajari Sidoarjo ini, sebuah perkara bisa dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ setelah mendapat persetujuan secara berjenjang hingga keluar surat pernyataan dari JAM-Pidum yang menyatakan disetujuinya penghentian perkara tersebut dengan pendekatan keadilan restoratif.

Baca Juga:   Kejati Sumut Hentikan 101 Perkara Dengan Cara Humanis, Kajari Asahan Urutan Pertama Disusul KN Langkat dan Simalungun

Mantan Aspidum Kejati Kepri ini menyampaikan, penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula. Penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ ini juga menjadi terobosan Kejaksaan dalam menciptakan kedamaian dan harmoni dalam masyarakat.

Kemudian, lanjut Arief penyelesaian perkara melalui pendekatan restorative justice ini terbukti akhir-akhir ini telah mendapat respons yang sangat positif baik dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pelaku dan korban, keluarga pelaku, keluarga korban juga dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat, terlebih lagi apabila hubungan mereka yang terlibat perkara memang bersaudara, bertetangga atau masih ada hubungan keluarga bisa harmonis kembali.

“Pelaksanaannya tetap harus hati-hati dan diawasi serta dikendalikan secara berjenjang artinya secermat mungkin. Karena, memang diharapkan sebagai upaya memberikan rasa keadilan yang hakiki pada para pencari keadilan bukan hanya sekadar menghentikan perkara.

“Apabila ada indikasi-indikasi yang artinya dilakukan karena hal-hal kecurangan atau transaksional sudah ditegaskan di awal bahwa prosesnya akan dibatalkan dan kalau terbukti ada yang mempermainkan program Nasional yang tujuannya sangat mulia ini pimpinan dengan tegas akan memberikan sanksi termasuk pemberhentian sebagai jaksa atau pegawai secara tidak hormat,” tandasnya.

Sampai saat ini, kata Arief belum ada kasus yang seperti itu karena memang pelaksanaannya juga secara berjenjang dan sangat ketat.

Dalam pelaksanaan RJ berdasarkan Perja No.15 Tahun 2020 ini, tambah Arief kita meminta masyarakat ikut mengawasi kebijakan ini untuk memastikan program RJ berjalan dalam proses dan keadaan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya sehingga memberi kemanfaatan hukum bagi masyarakat.

“Dengan dihentikannya sebuah perkara lewat pendekatan RJ, berarti telah ikut berkontribusi dalam mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat yang mengharapkan keadilan,” tegasnya.