“Sejak tahun 2008 hingga 2010, masyarakat cepat-cepat menebang jeruk. Mereka ganti jadi kopi” ujar Andi Siboro (43) salah seorang petani kopi.
Tanah Karo, Mediasumutku.com – Akibat diserang lalat buah (Bactrocera sp) hama yang kerab menyerang tanaman buah dan sayuran 97% (sumber : data Kepala Desa Lau Simomo, red) mengalihkan lahannya untuk tanaman kopi.
Dari pantauan Mediasumutku.com, Minggu (25/8/2019) di berbagai lokasi yang selama ini digunakan petani jeruk di Lau Simomo, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo mayoritas masyarakat Lau Simomo beralih menjadi petani kopi, yang awalnya mereka dikenal sebagai petani jeruk.
Dari perbincangan awal dengan Kepala Desa Lau Simomo Martinus Haloho yang mengarahkan awak media ke salah satu ladang milik Simarmata (52).
Petani Kopi yang tadinya menanam jeruk ini mengisahkan bahwa peralihan jenis tanaman ini telah berlangsung sejak tahun 2008, setelah lalat buah menyerang sejak tahun 2007, yang menyebabkan masyarakat menjadi kuatir.
“Sejak tahun 2008 hingga 2010, masyarakat cepat-cepat menebang jeruk. Mereka ganti jadi kopi” ujar Andi Siboro (43) salah seorang petani kopi.
“Persisnya, antara 2007-2010, kami merasakan serangan lalat buah. Semua buah yang siap panen tiba-tiba jatuh. Ditambah lagi, harga jeruk dari tahun ke tahun terus berkurang” imbuh Simarmata, pemilik ladang kopi.
Melihat kondisi para petani Desa Lau Simomo makin mengkhawatirkan, Pemerintah Desa mengambil tindakan mengadakan penyuluhan. Pemerintah Desa Lau Simomo bersinergi dengan Dinas Pertanian Lau Simomo berdiskusi seputar penaggulangan lalat buah.
Kepala Desa Simomo menyebutkan selama ini petani hanya mengandalkan bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Karo melalui berbagai upaya untuk membasmi Bactrocera sp.
“Ada tiga progam Dinas Pertanian Kabupaten Karo guna menanggulangi serangan lalat buah, yakni: penyemprotan racun serentak, membuat perangkap anti lalat (antilat), dan mengubur buah jatuh,” ujar Martinus Haloho.
Kepala Desa Simomo menjelaskan, akibat penyemprotan racun lalat yang tidak serentak, juga menimbulkan gagal panen. Maka, secara berangsur, warga menebang pohon jeruk dan menggantinya dengan kopi.
“Sejak tahun 2010, mayoritas warga sudah menanam kopi, pengganti jeruk. Ditambah lagi, waktu itu harga kopi mulai menjanjikan, sekitar 40.000 per kilogram,” tambah Martinus Haloho.
Sementara Andi Siboro petani kopi yang ditemui media ini menyebutkan persoalan ini sudah disampaikan ke Dinas Pertanian, tetapi petani lebih memilih mengembangkan tanaman kopi.
“Walau sudah didiskusikan dengan Dinas Pertanian Kabupaten Karo, warga desa tidak menghiraukannya” terang Andi Siboro.
Dari pantauan awak media ini, hanya beberapa masyarakat Desa Lau Simomo yang tetap bertani jeruk. Kiat mereka bisa bertahan dengan melakukan tiga program Dinas Pertanian Karo (penyemprotan racun serentak, membuat perangkap anti lalat (antilat), dan mengubur buah jatuh).
“Kami bisa bertahan bertani jeruk dengan modal besar. Maka, harga jualnya jangan sampai dibawah 5000 per kilogram. Kalau di bawah harga itu, pasti kami akan tumbang juga” terang Simarmata.
Hingga kini, tanaman jeruk petani masih tetap diserang lalat buah, namun sudah berkurang dibanding sebelumnya.
Martinus Haloho mengatkaan agar tetap eksis, petani tetap memilih bertahan untuk menanam jeruk.
“Keberanian bertahan adalah salah satu jalan mempertahankan gelar desanya sebagai petani jeruk. Sebenarnya, seandainya masyarakat melakukan anjuran Dinas Pertaninan itu, desa kita tetap eksis sebagai desa petani jeruk. Walaupun demikian, kita masih bersyukur bahwa masih ada warga yang tetap bertahan,” jelasnya.
Namun, sebaliknya menurut Simarmata, “para petani yang sudah menanam kopi saat ini, sangat kecil kemungkinan beralih ke jeruk, walau lalat buah sudah berkurang. Malah, sebagian besar petani jeruk di Kabupaten Karo ini beralih ke daerah lain. Mereka tersebar ke Kabupaten Pakpak Barat, Simalungun, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan,” tandasnya. (MS2/cr2)