Medan, Mediasumutku.com– Industri sawit di Indonesia saat ini benar-benar berada dalam tekanan yang luarbiasa beratnya. Bisa dibayangkan, saat ini pihak Uni Eropa (UE) menekan minyak sawit Indonesia dengan berbagai ancaman, baik soal isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya.
Di saat yang sama, India yang selama ini menjadi pasar strategis Indonesia, menaikan bea masuk untuk minyak sawit mentah atau crde palm oil (CPO) asal Indonesia.
“Salah satu tantangan tersebut adalah ketidakpastian dalam dinamika pasar minyak nabati dunia, di mana permintaan dari pasar ekspor tidak meningkat signifikan sehingga harga minyak sawit mentah (CPO) tetap bergerak pada kisaran harga yang rendah. Sementara itu, pertumbuhan daya serap pasar minyak sawit di dalam negeri juga tidak terlalu besar,” ujar Mukti Sardjono selaku Direktur Eksekutif GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dalam keterangan resmi kepada sejumlah media, Rabu (7/8/2019).
Baca juga: Dahsyat, Serapan Biodiesel Naik 144%
Kata dia, di India, Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia khususnya untuk refined products. Sebab, papar Mukti, bea masuk refined products dari Indonesia lebih tinggi daripada Malaysia dengan selisih 9%. “Tarif bea refined products dari Malaysia adalah 45% dari tarif berlaku 54%,” ungkap Mukti.
Kemudian, ujarnya, sejak beberapa waktu yang lalu pihak UE melemparkan isu penerapan RED II ILUC dan tuduhan subsidi biodiesel ke Indonesia. Ini, kata Mukti, jelas memengaruhi ekspor Indonesia ke negara-negara di UE.
Sekadar informasi, RED II adalah Renewable Energy Directive,atau keharusan dalam penggunaan energi terbarukan. RED II dijadikan UE sebagai perhtungan batas Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang diizinkan untuk dapat mengekspor biofuel atau bahan baku biofuel ke Eropa. Sementara ILUC atau Indirect Land Use Change adalah penghitungan jejak karbon dari pengembangan perkebunan kelapa sawit dari jejak lahan (konversi) yang dilakukan.
Tekanan yang bertubi-tubi dari UE dan Indonesia tersebut membuat industri sawit nasional “keringat dingin. Namun, di saat yang sama, kata Mukti, perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat memang telah mempengaruhi pasar minyak nabati dunia. Namun, Mukti menyebutkan, selalu ada hikmah di balik perang dagang yang terjadi antara dua negara adidaya tersebut.
“Meningkatnya permintaan dari China merupakan salah satu dampak dari perang dagangnya dengan AS, di mana Negeri Tirai Bambu ini mengurangi pembelian kedelai secara signifikan dan menggantikan beberapa kebutuhan dengan minyak sawit,” tegas Mukti Sarjono. (MS1/MS1)