mediasumutku.com – JAKARTA – Saat ini kuota pembiayaan rumah bersubsidi dengan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) telah habis. Hal ini, akan berdampak pada kinerja perusahaan. Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali kepada wartawan hari ini.
“Hal ini berpengaruh bagi arus pengembang, karena rumah yang sudah selesai dibangun tidak bisa diakadkan,” tutur Daniel.
Daniel mencontohkan apabila ada 20 ribu unit rumah yang akan diakadkan dikali Rp 140 juta, artinya akan nada investasi yang tersendat sekitar Rp 2,8 triliun. Padahal, kata dia, sektor perumahan berkaitan langsung dengan 120 komponen bisnis lainnya, baik material, tenaga kerja, dan lainnya. Selain itu, Daniel menilai investasi dari luar negeri juga akan tersendat lantaran habisnya kuota rumah bersubsidi FLPP.
“Dalam sejarahnya, baru kali ini terjadi kelangkaan atau habis nya kuota rumah bersubsidi. Hal ini juga berdampak buruk bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah membayar lunas uang muka, tapi tidak bisa ditempati atau diakad,” kata dia.
Setidaknya tiga asosiasi pengembang, kata Daniel, sudah menemui pemerintah, baik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Keuangan, hingga Presiden Joko Widodo untuk meminta tambahan kuota rumah bersubsidi. Daniel menuturkan pemerintah menjanjikan tambahan kuota. “Mudah-mudahan, kuota tambahan rumah bersubsidi FLPP ini, bisa terealisasi,” ujar Daniel.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja menuturkan habisnya kuota ini akan membuat konsumen terhambat untuk melakukan akad. Konsumen yang mau pindah ke skema komersil hanya sekitar 1-2 persen dari mereka yang tidak mendapatkan kuota. Menurut dia, kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah enggan memilih skema komersil lantaran harganya yang lebih mahal.
“Mereka tidak mungkin mampu dari segi cicilannya. Bayankan KPR lewat FLPP cicilannya hanya Rp 800 ribu, kalau yang komersil selisih 450 ribu atau 60 persen lebih mahal,” tutur Endang.
Selain skema FLPP, Endang mengatakan pengembang sudah mencoba mengalihkan kepada skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT). Hal ini juga didukung dengan mempermudah sertifikat laik fungsi (SLF), tabungan, dan uang muka. Namun, kata dia, kuota yang disediakan tidak banyak. Tak hanya itu, persyaratan penyerahan permohonan persetujuan kredit akan ditutup pada 11 November mendatang.
“Karena tidak ada FLPP, masyarakat yang membatalkan akad karena tidak mau ke BP2BT itu 15 persen. Mereka rela walau harus menunggu tahun depan,” tutur Endang.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Heri Eko Purwanto menuturkan permohonan penambahan anggaran untuk rumah subsidi dengan KPR skema FLP masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sampai saat ini, PMK tersebut belum juga diterbitkan.
“Saya sudah bilang pada teman-teman (pengembang) jangan terlalu bergantung pada FLPP untuk menyalurkan rumah bagi MBR karena ada alternatif BP2BT,” ujar Endang.
Saat ini, Heri mengatakan potensi skema BP2BT itu sebanyak 7 ribu unit untuk tahun ini. Namun, hingga saat ini realisasinya maish jauh dari target. Untuk tahun depan, Heri menuturkan pemerintah berencana akan mengalokasikan BP2BT sebanyak 50 ribu unit.
“Kami juga sudah berikan relaksasi untuk dorong animo masyarakat,” ujar Heri.
Direktur Jenderal Anggaran Askolani menuturkan belum ada keputusan atas permohonan tambahan anggaran untuk rumah subsidi dengan KPR skema FLPP. Menurut Askolani, untuk permohonan tersebut masih dikoordinasikan dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
“Koordinasi dilakukan untuk melihat secara lengkap potensi dan kesiapan sampai akhir tahun, serta kelanjutan pada 2020,” tutur Askolani.[ms5]