mediasumutku.com | MAKASSAR-Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Agus Salim didampingi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Teuku Rahman, Asisten Tindak Pidana Umum, Rizal Syah Nyaman serta para Kasi pada Aspidum melakukan ekspose dan menerima pengajuan Restorative Justice (RJ) 2 perkara di Aula Lantai 2 Kejati Sulsel, Jumat (11/10/2024).
Kasi Penkum Kejati Sulsel Soetarmi, dalam siaran persnya Jumat (11/10/2024) menyampaikan bahwa dua perkara yang diajukan untuk diselesaikan secara humanis berdasarkan Perja No.15 Tahun 2020 berasal dari satuan kerja Kejari Gowa dan Kejari Wajo yang mengajukan ekspose RJ secara daring lewat aplikasi zoom meeting.
Kajati Sulsel, Agus Salim mengatakan penyelesaian sebuah perkara lewat RJ memberikan solusi untuk memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat dengan tetap menuntut pertanggungjawaban pelaku.
“Keadilan restoratif menjadi solusi dimana kepentingan korban diutamakan dalam penyelesaian perkara. Dalam hal ini perbaikan keadaan korban dan pemberian maaf dari korban menjadi faktor penentu penyelesaian perkara. Di sisi lain tetap memperhatikan kondisi tertentu dari pelaku kejahatan sebagai bahan pertimbangan penyelesaian perkaranya,” papar Agus Salim.
Dua perkara yang disetujui pengajuan RJ-nya oleh Kajati Sulsel Agus Salim adalah dari Kejari Gowa dengan nama tersangka Dwi Savitri Nurmaharani (35 tahun) melanggar pasal 378 KUHP dan/atau pasal 372 KUHP (kasus penipuan) terhadap korban Indri Fajar Parennui (26 tahun).
Perkara ini terjadi sekitar bulan Juni 2023 di Jl. Poros Malino Bonto-bonto, Kec. Bontomarannu, Kab. Gowa. Saat itu tersangka Dwi Savitri mengajak korban ikut arisan. Dua arisan yang dikelola pelaku yaitu arisan menurun dan arisan tembak, korban mengikuti arisan dengan menyetor uang kepada pelaku sebesar Rp46.355.000 secara bertahap. Akan tetapi pada saat arisan korban naik, pelaku tidak membayar korban dan mengembalikan uang korban.
Perkara kedua berasal dari Kejari Wajo yang mengajukan RJ dengan tersangka Masang Bin Karennu (68 tahun) yang melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP (kasus penganiayan) dengan korban Ambo Tenri bin Mude (54 tahun).
Peristiwanya, pada Minggu tanggal 01 September 2024, di Dusun Latappareng, Desa Inrello, Kec. Keera, Kab. Wajo. Saat itu korban bersama istri bertemu dengan tersangka setelah pulang dari kebun. Tersangka Masang lalu bertanya ke korban soal kedatangan dia ke rumah tersangka beberapa waktu lalu. Tersangka menuduh korban datang ke rumahnya lalu marah-marah. Tak terima jawaban korban, tersangka Masang lalu mengeluarkan parang.
Korban mencoba menenangkan dan merebut parang milik tersangka. Saat bergelut dengan korban secara tidak sengaja, tersangka menusuk bagian belakang korban dengan menggunakan sebilah parang tersebut sehingga saat itu korban langsung terjatuh.
“Alasan pengajuan RJ terhadap dua perkara ini adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan saksi korban telah memaafkan perbuatan tersangka dan telah ada perdamaian kedua belah pihak. Tersangka dalam hal ini berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” papar Soetarmi.
Setelah pelaksanaan RJ, Agus Salim kemudian memerintahkan Aspidum Kejati Sulsel untuk segera melaporkan hasil pelaksanaan RJ tersebut kepada JAM Pidum Kejagung. Dan memerintahkan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).
Mantan Kajati Sulteng ini berpesan bahwa keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
“Saya harap pelaksanaan proses penyelesaian perkara yang dimohonkan RJ dilakukan secara cermat, hati-hati, selektif, terukur, transparan dan akuntabel serta melibatkan semua pihak yang berkepentingan,” tandasnya.
Esensi dari dilakukannya penyelesaikan perkara ini, tambah Agus Salim lebih mengedepankan hati nurani dimana dengan adanya perdamaian berarti kedua belah pihak (tersangka dan korban) telah berhasil mengembalikan keadaan ke keadaan semula.