Jakarta, Mediasumutku.com– Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menegaskan komitmennya untuk mengusung industri perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
Karena itu, GAPKI memastikan bahwa seluruh anggotanya sudah memiliki sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) mulai tahun 2020.
Komitmen ini diharapkan mampu memperkuat keberterimaan ISPO sebagai standar keberlanjutan di dunia internasional.
“Saat ini sudah 67% atau 502 perusahaan anggota GAPKI telah meraih sertifikasi ISPO. Dan target akhir tahun 2020 seluruh anggota GAPKI sudah sertifikasi ISPO,” kata Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono dalam Deklarasi GAPKI dalam Mendukung Sertifikasi ISPO di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Deklarasi ini dibacakan Joko dan para Pengurus GAPKI di sela-sela acara penyerahan sertifikat ISPO.
Kata Joko, sertifikasi ISPO sebagai standar wajib tata kelola perkebunan sawit di Indonesia sangat penting untuk menjawab berbagai tuduhan miring terhadap sektor sawit.
Dengan demikian, kata dia, daya saing industri sawit di pasar internasional semakin meningkat.
“Kalau sudah bersertifikat ISPO berarti perkebunan sawit tersebut sudah clear and clean,” kata Joko.
Ia berharap, selain melalui percepatan dan penguatan sertifikasi ISPO, pemerintah juga bisa membantu menyelesaikan permasalahan atau tantangan lain yang sedang dihadapi oleh industri kelapa sawit.
Salah satunya tantangan kebijakan di dalam negeri sehingga lebih harmonis mendorong kemajuan industri sawit nasional.
“Semoga sertifikasi ISPO menciptakan sentimen positif bagi industri kelapa sawit,” lanjut Joko.
Sementara itu, Ketua Sekretariat ISPO Aziz Hidayat mengatakan, hingga Agustus 2019 telah 566 sertifikat ISPO yang terdiri dari 556 perusahaan, 6 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma. Luas total lahan yang telah tersertifikasi ISPO adalah 5,2 juta hektar.
“Tingkat kepatuhan pekebun untuk memenuhi sertifikasi ISPO juga semakin baik. Ini hal yang sangat menggembirakan bagi kami,” kata Aziz Hidayat.
Aziz mengakui tantangan dalam mencapai target sertifikasi ISPO tidak ringan. Berbagai tantangan tersebut, terutama untuk perkebunan rakyat.
Antara lain, ucap Aziz, yaitu aspek kepemilikan lahan yang masih berupa surat keterangan tanah, adanya indikasi masuk kawasan hutan, pengurusan STDB (surat tanda daftar budidaya), keengganan membentuk koperasi pekebun, dan masalah pendanaan.
“Permasalahan-permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian serius,” kata Aziz.(MS1/MS1)