Scroll untuk baca artikel
HeadlineHukrimNasional

Kejati Sulteng Hentikan Penuntutan Perkara Pencurian dan Penganiayaan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

×

Kejati Sulteng Hentikan Penuntutan Perkara Pencurian dan Penganiayaan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

Sebarkan artikel ini

PALU-Jelang Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) yang ke-63, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah kembali menghentikan penuntutan 3 perkara dengan pendekatan keadilan restoratif setelah sebelumnya Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Agus Salim, SH, MH didampingi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Dr. Emilwan Ridwan, SH, MH, Aspidum menyampaikan ekspose kepada JAM Pidum Kejagung Dr Fadil Zumhana yang diwakili Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, SH, MH, Kamis (3/7/2023) di Ruang Vicon Lantai 3 Kantor Kejati Sulteng.

Menurut Kajati Sulteng Agus Salim melalui Kasi Penkum Kejati Sulteng Mochammad Ronald, SH,MH penghentian penuntutan terhadap 3 perkara berasal dari Kejari Tojo una-una, Kejari Morowali dan Kejari Donggala.

Baca Juga:   Restorative Justice : Upaya Kejaksaan Memulihkan Kedamaian dan Harmoni dalam Masyarakat

Adapun 3 perkara yang disetujui penghentian penuntutannya berdasarkan Restorative Justice adalah tersangka atas nama Moh. Rafli melanggar pasal 362 KUHPidana (Kejari Tojo Una-una), tersangka atas nama Ruliyanto Hasan melanggar pasal 372 KUHPidana (Kejari Morowali) serta tersangka atas nama Kurais bin Mustafa melanggar pasal 351 ayat (1) KUHP (Kejari Donggala).

Mochammad Ronald menyampaikan, penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif seperti diatur dalam Perja No 15 Tahun 2020, yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan tersangka di bawah dua setengah juta rupiah, ancaman hukuman di bawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban, dan direspons positif oleh keluarga.

Baca Juga:   Desa Buluh Duri Bawa Pulang Prestasi di ADWI, Pemkab Sergai Gelar Syukuran

“Penghentian penuntutan dilakukan ketika antara tersangka dan korban ada kesepakatan berdamai dan tersangka menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi,” paparnya.

Proses pelaksanaan perdamaian disaksikan keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan difasilitasi Kajari, Kacabjari, dan jaksa yang menangani perkaranya.

Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula agar tidak ada rasa dendam di kemudian hari,” tandasnya.

Mochammad Ronald menambahkan ketika tersangka dan korban berdamai, maka sekat yang memisahkan persaudaraan atau rasa dendam dan benci yang tertanam bisa dicairkan agar tidak sampai membeku dan menciptakan permusuhan yang berkepanjangan.

Baca Juga:   Bahagianya Bisa Ketemu Teman Satu Angkatan, Satu Kelas dan Satu Bangku di Acara Reuni Akbar Alumni SMA N 2 Medan