Scroll untuk baca artikel
HeadlineSumut

Ombudsman Sumut: Sanksi Layanan Publik Peserta BPJS Kesehatan Tidak Tepat

×

Ombudsman Sumut: Sanksi Layanan Publik Peserta BPJS Kesehatan Tidak Tepat

Sebarkan artikel ini

mediasumutku.com | MEDAN – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyoroti usulan sanksi yang akan diberikan oleh pemerintah kepada setiap peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang menunggak iuran. Sanksi tersebut, berupa tidak bisa memperoleh layanan publik seperti, tidak bisa mengurus IMB, paspor, SIM, STNK, hingga sertifikat tanah.

Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Utara (Sumut) Abyadi Siregar menyatakan, sanksi yang akan diberlakukan ini tentunya sangat tidak benar atau tidak tepat. Sebab, setiap warga negara memiliki hak konstitusional sesuai Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 berupa hak atas semua layanan publik.”Saya kira sanksi itu terlalu mengada-ada. Apa payung hukumnya itu sampai tidak boleh mendapatkan pelayanan publik? Soalnya, itu kan hak konstitusional masyarakat,” ujarnya.

Menurut Abyadi, apabila sanksi layanan publik ini diterapkan, maka apalagi ketenangan yang bisa didapatkan masyarakat sebagai warga negara. Jangan sampai ada masyarakat yang berpikir untuk menyesali dirinya telah menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Baca Juga:   Curah Hujan Tinggi, 17 Kabupaten/Kota di Sumut Dilanda Banjir dan Longsor

“Jangan karena tidak membayar BPJS Kesehatan sampai berefek pada tidak mendapatkan hak itu. Jadi, kenapa dimonopoli, padahal layanannya bukannya bagus. Sebab, begitu banyak orang yang kecewa dengan layanan BPJS Kesehatan,” cetusnya.

Dia mengaku, selama ini juga cukup banyak laporan yang masuk ke Ombudsman atas pelayan BPJS Kesehatan, baik itu pasien sudah disuruh pulang meski belum sembuh hingga sulitnya mendapatkan ruangan, dan panjangnya waktu antrian operasi. “Ini kan persoalan yang serius. Tapi, kadang masalah BPJS Kesehatan hanya ditimpakan kepada masyarakat saja. Harusnya BPJS Kesehatan juga introspeksi diri, karena banyak kelemahan manajemen,” tegasnya.

Disinggung mengenai masalah defisit, Abyadi mengaku Ombudsman memang tidak mempersoalkan adanya rencana kenaikan iuran. Hanya saja, kebijakan kenaikan itu harus dapat dipertimbangkan secara proposional. “Kita pahami mengatasi defisit, makanya silahkan saja naik tapi proposional. Namun jangan begini dibuat (sanksi layanan publik), kalau enggak bayar ya tidak dilayani, jangan dipaksa,” ketusnya.

Baca Juga:   JKN Menagih Tunggakan BPJS, Apa Bedanya dengan Debt Collector Ya?

Abyadi menambahkan, jika nantinya tetap diterapkan dikhawatirkan malah akan menambah persoalan baru yang akan menimbulkan respon yang tidak baik dari masyarakat secara luas. Selain itu, kebijakan ini dapat menimbulkan perlawanan masyarakat kepada BPJS Kesehatan, karena dianggap begitu menyusahkan ditengah layanannya yang tidak baik.

“Saya pikir ini tidak tepat dan harus ditinjau kembali. Tapi karena ini isu nasional, maka saya pikir akan menjadi kebijakan Ombudsman pusat untuk menyikapinya. Begitu juga di tingkat lokal, kita akan memberi warna dalam menyikapi ini dalam perspektif layanan publik,” tukasnya.

Terpisah, Kepala Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Medan Rahman Cahyo mengaku, sampai sejauh ini belum ada aturan pelaksana mengenai sanksi layanan publik bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran. Sanksi yang ada, sebut dia, hanya berupa penonaktifan kartu dan denda pelayanan kesehatan jika mengakses layanan rawat inap setelah kartu aktif kembali. “Masih itu sanksinya, kalau sanksi layanan publik seperti tidak bisa membuat SIM itu belum ada peraturan pelaksananya,” katanya.

Baca Juga:   Bupati Samosir Mangulosi Raja dan Ratu Belanda Saat Kunjungi Desa Silima Lombu

Cahyo menyatakan, rencana sanksi layanan publik tersebut memang sudah ada tertuang dalam PP nomor 86 tahun 2013. “Jadi, sudah lama, mungkin peraturan yang lama itu yang mau dibuatkan peraturan pelaksananya,” tandas dia. (Muis)