PADA sebuah kesempatan, penulis berbincang-bincang dengan Jaksa Agus Salim, SH,MH yang saat ini menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah menyampaikan bahwa komunikasi dengan siapa pun menjadi sangat penting untuk menjalin hubungan baik dengan sesama tanpa memandang suku, agama dan latar belakang pendidikannya.
“Berkomunikasi yang baik dengan kalangan tertentu perlu keahlian tertentu juga. Berbeda intonasi dan penuturan kata serta kalimatnya jika berkomunikasi dengan pimpinan, berbeda pula dengan bawahan. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi secara cepat,” katanya.
Saat menggelar pertemuan dengan jurnalis dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (Harkodia) di pelataran Kantor Kejaksaan Tinggi Jalan Sam Ratulangi, Kota Palu, Jumat (9/12) lalu, Agus Salim menyapa seluruh jurnalis yang hadir dengan penuh sukacita.
Agus Salim, pria berdarah Bugis asal Sulawesi Selatan ini resmi menjabat Kajati Sulteng sejak Agustus lalu menggantikan posisi Kajati sebelumnya, Jacob Hendrik Pattipelohy.
Sebenarnya, kata Agus Salim semasa kecil dulu ia tidak terpikir menjadi seorang Jaksa. Kebetulan saja waktu SMA-nya di Jakarta, setiap kali pulang berjalan kaki menuju Blok M, hampir setiap hari melihat gedung Kejaksaan.
Atas seizij Tuhan Yang Maha Kuasa, Agus Salim akhirnya bergabung dengan Korps Adhyaksa dan pertama bertugas ditempatkan Jaksa di Makassar, menjadi kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) di Kejaksaan Negeri Majene.
Selanjutnya, Agus Salim bergabung di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama 8 tahun bertugas di lembaga anti rasuah tersebut, Agus Salim telah menangani beberapa kasus menarik perhatian publik, salah satunya kasus korupsi wisma atlet.
Kepercayaan
Pasca menjalankan tugas sebagai Jaksa di KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung) memberi kepercayaan kepada Agus Salim menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Belopa. Saat bertugas sebagai Kajari Belopa, sekaligus membawa dirinya pulang kampung setelah sekian lama merantau.
“Orangtua saya waktu itu sampai menangis dan berkata kepada dirinya, ‘Nak, saya bangga sekali semua sahabat saya mengatakan anaknya Kajari. Selama 38 tahun lalu di halaman rumah ini saya tidak pernah melihat mobil plat merah. Baru kali ini lagi nak,” papar Agus Salim menirukan ucapan orangtuanya.
Menurut Agus Salim, selama bertugas di kampung halaman, ada plus dan minusnya. Plusnya dekat keluarga dan silaturahmi bisa tetap terjalin, minusnya ada keluarga melanggar membawa-bawa namanya kepada petugas.
Setelah menjalankan tugas sebagai Kajari Belopa, Kejagung mempromosikan Agus Salim sebagai Asintel Kejati Lampung, dari Asintel dipercaya untuk menjabat Kasubdit di Kejagung.
Tugas berikutnya adalah menjadi Asisten Pidana khusus (Aspidsus) di Kejati Sumatera Utara. Kemudian balik lagi menjadi Kasubdit Kejagung dan Koordinator pada Bidang Pidsus di Kejagung.
Setelah bertugas di wilayah Barat Indonesia, Agus Salim dapat promosi untuk menjalankan tugas ke wilayah Timur Indonesia, tepatnya sebagai Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Papua. Setelah dari Timur, Agus Salim ditempatkan lagi ke arah Barat, tepatnya menjadi Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Sumatera Utara.
Sekitar 8 bulan lebih bertugas di Sumut, Agus Salim dipercaya untuk menjabat tugas baru sebagai Direktur Eksekusi kemudian dimutasi lagi jadi Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung RI.
Belajar Sambil Berbuat
Dan akhirnya, Jaksa yang selama 8 tahun bertugas di KPK itu dipercaya menduduki jabatan baru sebagai Kajati Sulteng di Palu.
Berbicara tentang pentingnya komunikasi yang baik dengan semua kalangan, bagi Agus Salim untuk belajar tentang hal itu perlu proses. Belajar sambil berbuat akan menjadikan kita lebih matang dalam hal komunikasi.
Karena komunikasi yang baik oleh seluruh jajaran Kejaksaan, menghantarkan lembaga ini mendapat pengakuan lebih dari masyarakat sebatai wajah penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil survei dari lembaga survei independen menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga aparat hukum terpercaya.
“Itu sebabnya, Pak Jaksa Agung selalu menyerukan agar seluruh jajaran berubah, berubah dari pola-pola lama kepada pola yang lebih humanis,” tandas Agus Salim.
Informasi terkait perubahan-perubahan yang terjadi di Kejaksaan, lanjut Agus Salim tidak ada apa-apanya tanpa peran media. Dalam perintah harian Jaksa Agung, disampaikan ada integritas, lakukan penegakan hukum secara humanis, wujudkan orientasi penegakan hukum yang melindungi hak dasar manusia. Lakukan publikasi terkait kinerja positif Kejaksaan.
“Ketika saya sudah melakukan beberapa terobosan dan kinerja yang baik, tapi tanpa dukungan dari rekan-rekan media, apa yang saya kerjakan tidak akan ada yang tahu,” tandasnya.
Di Indonesia, kata Agus Salim ada 33 Kejati, 450 Kejari dengan bidangnya masing-masing. Kalau potensi pemberitaannya dilakukan secara masif, maka hasilnya akan sangat luar biasa.
Ketika disinggung terkait penegakan hukum, khususnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, Agus Salim berpendapat lebih memilih tindakan pencegahan dari pada penindakan. Sebab penindakan itu butuh biaya besar dan waktunya lama.
“Yang pasti, semua bidang di Kejaksaan harus saling bersinergi dan berkolaborasi dalam mengedepankan upaya pencegahan lewat penerangan hukum, penyuluhan hukum dan upaya pendampinga dari Bidang Datun,” pungkasnya.