mediasumutku.com | BALI – Kejaksaan Tinggi Bali kembali hentikan penuntutan 2 perkara yang pemaparan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restorative Justice disampaikan oleh Kajati Bali Dr. Ketut Sumedana yang diwakili Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, I Dewa Gede Wirajana, SH, MH, didampingi Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Bali Nislianudin, SH, MH, serta para Kasi pada bidang Tindak Pidana Umum Kejati Bali. Kemudian ikut juga perwakilan dari Kejaksaan Negeri Gianyar dan Kejaksaan Negeri Tabanan. Ekspose perkara disampaikan secara virtual dari ruang vicon Kantor Kejati Bali Jalan Tantular, Denpasar, Bali, Selasa (14/5/2024).
Ekspose perkara dari Kejati Bali diterima oleh JAM Pidum yang diwakili Direktur TP Oharda Nanang Ibrahim Soleh, SH,MH beserta Koordinator dan Kasubdit pada JAM Pidum Kejagung RI.
Menurut Kasi Penkum Kejati Bali Putu Agus Eka Sabana P, SH,MH seperti dilansir dari IG Kejati Bali< Rabu (15/5/2024) menyampaikan bahwa perkara yang dihentikan ada 2 perkara, dengan rincian dari Kejaksan Negeri Gianyar yaitu tersangka IGNKP yang disangka melanggar Pasal Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan di Gianyar, terhadap saksi IMJA, sehingga jari tangan saksi korban terluka akibat terkena benda tajam saat berupaya menangkis sajam yang dibawa oleh tersangka.
Sedangkan dari Kejaksaan Negeri Tabanan, tersangka AN disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Hal ini terjadi lantaran tersangka mencuri barang berupa motor PCX, hp, dan uang milik saksi korban NKS.
“Dua perkara yang diusulkan ini disetujui dihentikan yaitu dengan adanya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, dan keduaa tersangka meminta maaf dan telah membayar ganti rugi kepada saksi korban,” katanya.
Ada pun alasan dilakukannya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif berdasarkan Perja No.15 Tahun 2020 adalah telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Semua dituangkan dalam Surat Kesepakatan Perdamaian.
“Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, kemudian proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi serta disaksikan tokoh masyarakat, keluarga korban dan tersangka, penyidik dan jaksa penuntut umum,” tandasnya.
Lebih lanjut Putu Agus Eka Sabana menyampaikan bahwa dengan terwujudnya perdamaian antara tersangka dan korban telah membuka ruang yang sah bagi kedua belah pihak untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula. Penghentian penuntutan dengan pendekatan humanis lebih mengedepankan perdamaian antara tersangka dan korbannya.