mediasumutku.com|MEDAN-Pandemi Covid 19, tak hanya mempengaruhi nasib pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), pariwisata dan sejumlah sektor lainnya saja. Namun, juga mempengaruhi nasib para pegiat sineas di tanah air.
Baru-baru ini, viral di media sosial dari berbagai kalangan, terutama pegiatan sineas Indonesia tentang surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Republik Indinesia, Joko Widodo.
Surat tersebut berisi permintaan kepada presiden agar segera membuat kebijakan terkait nasib pegiat perfilman Indonesia yang kian terpuruk terdampak pandemi covid 19.
Di Medan, Sumatera Utara, salah satu pegiat sineas, sutradara film asal Medan, Djenni Buteto, adalah satu dari banyaknya sineas film di tanah air yang turut kena dampak pandemi ini.
Dia mengatakan, surat terbuka tersebut menjadi jeritan semua insan perfilman saat ini apalagi ketika di banyak daerah bioskop masih ditutup. Produksi film layar lebar di kurun 2019-2020 yang seyogianya rilis, jadi batal atau terpaksa puas jadi film layar kaca alias diputar di bioskop daring yang tentu saja berpengaruh pada tingkat pendapatan.
Djenni menyebut, biaya produksi film panjang cukup besar, jadi pendapatan yang tidak sesuai akan sangat merugikan banyak pihak, khususnya sineas.
“Kami memproduksi film A Thousand Midnights in Kesawan secara indie sejak akhir 2019, sempat fakum karena pandemi, dan baru mulai lagi awal tahun 2021. Belum ada sponsor yang support kami, namun karena ini karya kolaborasi, kami tetap berusaha menyelesaikannya walau dengan speed yang amat lambat,” ujar Djenni Buteto.
Djenni mengatakan, sineas Medan tetap harus berjuang karena kreatifitas itu tidak semestinya terhalang dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Bahkan, sebelum pandemi, sineas di luar Jakarta, harus bekerja ekstra untuk bisa menghasilkan karya film.
Sebagai pembuat film, Djenni menganggap, karya adalah sebuah investasi dalam hidup. Baginya pelajaran berharga hadir dari pengalaman. Film panjang yang ia besut bersama Hendry Norman ini misalnya, berangkat dari kecintaan terhadap Kota Medan yang memiliki pesona heritage, Paris van Sumatera.
Oleh sebab itu, ia sangat bersemangat mengangkat tentang Kesawan sebagai setting lokasi ceritanya. Dengan membawa genre drama, horor, romcom, Djenni berharap film ini bisa digemari penikmat film baik di Medan maupun di luar Medan.
Djenni berharap dukungan dari semua pihak datang bagi semua pekarya di Medan, khususnya pegiat film. Karena, tanpa dukungan masyarakat, sulit sekali bisa berkarya dengan maskimal.
Menurut Djenni, film tidak hanya representasi budaya, indikator keberhasilan investasi sebuah negara, tetapi adalah bentuk bakti para pegiat film untuk negeri. Sebab film bisa menjadi etalase sebuah negara di mata dunia.
Sebut saja perfilman Korea Selatan yang menjadi sorotan dunia setelah film Parasite meraih 4 kategori bergengsi Academy Award, termasuk best film dan best director peraih Oscar. Dan ini, sangat berdampak positif pada banyak bidang dalam perekonomian Korea Selatan, dan tentu saja prestise dalam hal perfilman. Hal ini sudah pasti menjadi tantangan bagi sineas di negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
“Cita-cita sineas itu salah satunya adalah filmnya bisa menang di festival film bergengsi. Namun yang terutama adalah filmnya bisa diterima masyarakat luas. Begitu juga film A Thousand Midnights in Kesawan ini. Film berdurasi 85 menit tersebut saat ini sedang dalam proses post production dan direncanakan akan rilis pertengahan tahun ini,” ujar Djenni. (MS7)