mediasumutku.com | JAKARTA-Ketua Dewan Penasehat Apindo Sumut Dr.Parlindungan Purba mnyampaikan apresiasinya kepada salah seorang putra kelahiran Sumatera Utara, Sahat Sinaga dalam sebuah pertemuan di Jakarta. Apresiasi disampaikan atas inovasi teknologi yang dikembangkan oleh Ir Sahat M Sinaga, yang juga Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia menuju industri hijau dan ekonomi hijau (Green Industry dan Green Economy).
Dalam pertemuannya tersebut, Parlindungan Purba sangat tertarik dengan cerita Sahat Sinaga terkait revolusi teknologi pengolahan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi minyak sawit yang sejak 1922 berperasi dengan pola wet-process yang berakibat tidak baik bagi lingkungan, yaitu emisi karbon tinggi berkisar 1.296,1 kg CO2 equivalen/Ton CPO yang dihasilkan oleh PKS, 0% kandungan vitamin alami ( natural micro-nutrition) yang baik itu terbuang , dan terbawa ke limbah buangan.
Oleh Sahat M.Sinaga merancang teknologi disebut “dry-process” sehingga kedua kendala diatas bisa diatasi, yaitu emisi karbon hanya berkisar 269,7 kg CO2 eq./ton minyak yang dihasilkan, kemudian produk yang dihasilkan bukan CPO tapi disebut PMO ( Palm Mesocarp Oil) dengan kandungan micro-nutrition yang tinggi.
“Teknologi pengolahan “dry-process” ini sedang dikembangkan di Desa Jelutih- Kab.Batanghari- Jambi, dan dari hasil pembcaraan dengan Parlindungan Purba untuk meningkatkan pendapatan para petani sawit di Sumatera Utara, rencana ke depan akan dibangun 4 unit Pabrik Kelapa Sawit Milik Petani, dimana Pabrik Kelaa Sawit ini disebut PPMO ( Pabrk Palm Mesocarp Oil), bukan lagi PKS, ” kata Sahat Sinaga.
Lebih lanjut Sahat Sinaga menyampaikan Pabrik Kelapa Sawit yang ada di Indonesia sudah beroperasi lebih dari 100 tahun dengan teknologi yang itu-itu saja. Dengan PKS yang ada sekarang perlu air banyak dan menghasilkan limbah banyak, juga CPO yang dihasilkan banyak kehilangan nutirisi utama sawit dan emisi karbon relatif tinggi.
“Emisi karbon menjadi faktor penting bagi industri saat ini dengan tuntutan harus rendah. Sudah ada teknologi baru yang lebih baik yaitu Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Uap (PMTU) sebagai solusi mengatasi masalah PKS saat ini,” kata Sahat Sinaga , Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia.
PMTU merupakan redefinisi minyak sawit dari sekedar penghasil lemak seperti dipraktekkan PKS sekarang menjadi produk fungsional yang semua kandungan nutrisinya masih ada, juga diproses dengan rendah karbon. PMTU juga kepemilikannya ada ditangan pekebun lewat koperasi petani sehingga pendapatan petani semakin meningkat. Lokasi harus dekat dengan kebun petani agar biaya angkut ties rendah. Jarak maksimal PMTU ke kebun petani adalah 20 km dengan asumsi biaya angkut Rp8/kg/km.
PMTU mengubah pengolahan kelapa sawit dari proses basah (wet process) yang perlu banyak air menjadi proses kering (dry process). Karena tidak memerlukan air maka tidak muncul POME, jadi tingkat emisi karbonnya sangat rendah. Total emisi karbon proses basah adalah 1.296,1 kg CO2 eq/ton minyak dengan komponen terbesar dari POME 1.026,4 kg dan solid 269,7 kg. Tanpa POME maka emisi karbon PMTU hanya dari solid saja yaitu 269,7 kg.
Temperatur operasi rendah, yang diolah adalah brondolan dengan suhu maksimum 850 C sehingga mikro nutrient (phytonutriens) tetap terjaga pada level tinggi. Impurities yaitu metal, gum dan embrio protein dalam sawit dihilangkan melalui unit IRU (Impurities Removal Unit) . Produk sawit yang dihasilkan juga bukan CPO tetapi TPMO (Treated Palm Mesocarp Oil). TPMO berbeda dengan minyak makan merah yang saat ini jadi pembangunan pabriknya jadi program pemerintah.
Dengan PMTU maka petani menjadi subjek atau dalam istilah lain setara dengan perusahaan perkebunan. Koperasi pekebun membuat perusahaan patungan mendirikan PMTU. Pekebun menjadi pemasok TBS PMTU. Tangkos dikebun dan debu dari pabrik dikembalikan lagi ke kebun untuk menjaga kesuburan tanah.
Saat ini PMTU sedang dibangun di Desa Simpang Jelutih, Jambi dengan pengelola perusahaan patungan antara koperasi petani dengan sebuah perusahaan. Ada investor misalnya PT Nusantara Green Energy yang memproses TPMO menjadi produk fungsional lewat fraksionasi, re-esterifikasi dengan enzim ffa lebih rendah , 60% menjadi DTPMO olein atau edora dan 40% menjadi megative yang diolah lagi jadi bensis sawit. Investor ini berperan sebagai pemasar kredit karbon ke pasar global.
Kelebihan lain dari PMTU adalah pabrik yang bersih karena arealnya kering, beda dengan PKS proses basah yang karena perlu air banyak kesannya kotor apalagi bila pekerja pabrik tidak memperhatikan kebersihannya. OER juga meningkat 1,5% diatas PKS. Biaya proses untu menghasilkan minyak dari TBS Rp 149/kg TBS dibanding dengan PKS Rp187 /kg TBS.
TBS yang diolah jadi CPO dengan PKS tahun 2022 emisi 11,59 juta ton CO2 eq, dengan produksi TBS 8,94 juta ton. Tahun 2030 proyeksi pemerintah penurunan emisi karbon 31,89%, bidang pertanian dan perindustrian untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 12,92 juta ton/tahun.
Bila peremajaan tahun 2023 sampai 2030 mencapai 609.300 ha/tahun maka tahun 2030 produktivitas 21 ton/ha, produksi TBS petani 28,61 juta ton. Jika semua diproses di PKS proses basah maka emisi karbon 37,1 juta ton eq CO2. Jika diolah di PMTU maka emisi karbon 7,71 juta ton eq CO2. Pengurangan emisi 29,39 juta ton eq CO2 masuk dalam perdagangan karbon dengam harga USD15/ton CO2 maka tambahan pendapatan untuk pekebun dan yang mengurusnya ke UNFCC adalah USD440,9 juta.