mediasumutku.com I Medan: Tugas besar ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah memecahkan masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Oleh karena itu ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang bernaung dalam fakultas-fakultas ilmu sosial di perguruan tinggi harus mampu menciptakan lulusan-lulusan yang mau membuka diri dan selalu mau belajar, termasuk mau belajar ilmu-ilmu lainnya di luar ilmu sosial (ilmu eksakta). Maka pilihannya adalah fakultas ilmu-ilmu sosial harus mereformasi besar-besaran kurikulum mereka demi menghasilkan lulusan yang mampu menjadi pemimpin dan menjadi wirausaha sosial (socioprenuer) serta menjadi perekat sosial.
Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Politik UGM Yogyakarta Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc, pada seminar daring bertajuk “Socioprenuer Sebagai Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Keilmuan” yang digelar oleh Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiss) se Indonesia Sabtu (3/10). Webinar ini para diikuti dekan ilmu-ilmu sosial se Indonesia dan dosen-dosen FISIP se Indonesia dengan total 340 peserta.
“Mindset yang harus diciptakan adalah para lulusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora itu harus mampu menguasai bidang-bidang disiplin ilmu lain seperti bidang digital sain. Karena masa saat ini adalah era digital. Tapi tidak lah harus seperti seorang data scientis yang bekerja berbasis algoritma matematika. Seorang sociopreneur itu harus punya smart digitalpreneur. Sehingga mindset dosen pun harus berubah,” kata Pratikno.
Sociopreneur atau wirausaha sosial adalah kegiatan berwirausaha berbasis bisnis dengan misi utama menciptakan social impact, yang meningkatkan harkat dan taraf hidup masyarakat. Misi sociopreneur adalah memandirikan masyarakat. Oleh karenanya, perguruan tinggi turut bertanggung jawab untuk mewujudkan kurikulum yang mengarah pada praktik socioprenuer.
Menteri Sekretaris Negara RI ini selanjutnya mengatakan desakan keharusan FISIP melakukan perubahan kurikulum itu karena tuntutan lainnya bahwa mahasiswa FISIP itu harus punya karakter.
“Kurikulum itu bukan semata kumpulan mata kuliah saja. Harus ada suatu ekosistem pembelajaran, dimana kuliah itu bukan ‘teaching’ melainkan ‘mentoring’ yang berorientasi pada pemecahan masalah. Sehingga mahasiswa FISIP diarahkan agar punya karakter. Untuk itu setidaknya para mahasiswa FISIP itu hanya dituntut mengikuti kuliah ilmu-ilmu wajib sebanyak 60 persen, dan 40 persen mereka bebas merdeka mencari ilmu-ilmu lain,” jelas mantan Dekan FISIP UGM ini.
Mahasiswa FISIP, lanjut dia, harus didorong para dosennya untuk menggabungkan kemampuan empat bidang yakni social skill, sosial digital, rekayasa sosial, manajemen (bisnis), dan teknologi.
Menanggapi hal itu, Dekan FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado, Novie R. Pioh, menyambut baik tawaran Pratikno tersebut. Menurut Novie, untuk memperkuat sociopreneur itu, para dekan FISIP se Indonesia harus menyamakan pandangan terlebih dahulu.
“Kalau kami sangat setuju apa yang disampaikan Pak Pratikno. Kita harus bertemu menyamakan pandangan untuk menyesuaikan kurikulum itu,” kata Novie.
Dekan FISIP USU Medan, Muryanto Amin, juga menyatakan hal yang sama. “Kita di FISIP USU siap melakukan perubahan kurikulum besar-besaran. Paling tidak tahun 2021 sudah kita coba praktikan,” kata Muryanto.
“Komitmen pimpinan perguruan tinggi dan mengubah budaya mengajar dosen dan mahasiswa serta memperkecil urutan birokrasi kampus menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan untuk merespon merdeka belajar dan perubahan yang begitu cepat terjadi di dunia,” kata dia.
Muryanto menyatakan upaya ilmu-ilmu sosial berkolaborasi dengan ilmu-ilmu lainnya merupakan tantangan yang harus dikelola secara baik. Terutama untuk menyesuaikan budaya belajar dari analog menjadi digital.
“Pihak perguruan tinggi juga harus mengundang para profesional untuk menjadi role model bagi mahasiswa dan dosen. Hal ini juga harus segera dirumuskan oleh Fordekiis,” ujarnya.