Scroll untuk baca artikel
Artikel

RUU PKS, Lindungi Anak Dari Pemaksaan Perkawinan

×

RUU PKS, Lindungi Anak Dari Pemaksaan Perkawinan

Sebarkan artikel ini
Foto : Ilustrasi/int

Penulis : Eko Agustyo Fitri Brahmawati

Secara yuridis, pengaturan tentang kekerasan seksual sebenarnya sudah ada di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Diantaranya, Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, aturan-aturan tersebut dinilai masih bersifat parsial dan belum komprehensif atau masih terjadi disharmoni. Selain itu, aturan-aturan tersebut belum semuanya mengcover apa yang dibutuhkan korban kekerasan seksual.

“Misalnya saja, pada Undang-undang Perlindungan Anak. Undang-undang tersebut hanya mengcover untuk usia anak 18 tahun ke bawah. Namun, tidak untuk anak yang berusia 18 tahun. Sementara itu, banyak kasus pemaksaan perkawinan anak yang terjadi di tengah masyarakat. Seperti, yang terjadi di Sumba. Situasi yang terjadi itu adalah sebagai bentuk kekerasan baru pada anak. Dan, ini perlu diakomodir di dalam aturan,” kata Ketua Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), Elisabet Juniarti kepada mediasumutku.com, Senin (5//4/2021).

Untuk itu, kata Elisabet, Rencana Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang saat ini masih terus menjadi perdebatan panjang harus segera disahkan. Elisabet menilai, RUU PKS cukup lengkap karena sudah mengakomodir 9 bentuk kekerasan seksual. Diantaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

“RUU PKS ini cukup lengkap draftnya. Jadi, bentuk kekerasan lain yang belum diakomodir di aturan yang sudah ada, harus diakomodir di RUU PKS ini. Misalnya, perkawinan anak, pemaksaan perkawinan anak dan lainnya. Dengan begitu, anak terlindungi dari pemaksaan perkawinan,” ujarnya.

Selain melindungi perkawinan anak lanjut Elisabet, RUU PKS ini juga mengarah pada pengembalian atau perlindungan martabat kemanusiaan terhadap pemulihan korban kekerasan.

Baca Juga:   Spesialis Jual Sate Bazar, Sehari Kipas  Beromset Rp 1,5 Juta

“Pemulihan untuk korban kekerasan seksual ini merupakan salah satu kewajiban negara. Mereka selaku korban harus benar-benar dipulihkan terutama pemulihan mentalnya,” ucapnya.

 Perlu Psikoedukasi Untuk Anak Korban Kekerasan Seksual

Psikolog asal Minauli Consulting, Irna Minauli mengaku, meskipun belum mendalami tentang RUU PKS. Namun, ia berharap ada aturan yang mengatur untuk pemulihan anak dan perempuan korban kekerasan seksual. Karena, korban kekerasan seksual pada umumnya akan mengalami trauma yang disebut PTSD (Post-traumatic Stress Disorder).

Trauma tersebut ditandai dengan adanya mimpi buruk, kemunduran perilaku, gangguan emosi dan konsentrasi. Keadaan seperti itu, tentu saja akan membuat hidup korban kekerasan seksual tidak nyaman.

“Saya banyak bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan lembaga perlindungan anak dan perempuan lainnya. Cukup banyak kasus yang dihadapi. Bahkan, beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh anggota keluarga, tetangga, guru atau orang yang dikenal lainnya. Bahkan, ayah kandung juga pernah sebagai pelaku,” kata Irna Minauli.

Menurutnya, sistem kekerabatan yang extended family (keluarga besar) dalam banyak hal memberi hal positif dalam perkembangan anak karena banyak orang yang membimbing dan mengawasi anak. Akan tetapi, sisi buruknya adalah banyak orangtua yang menjadi kurang waspada bahwa mereka juga bisa menjadi predator bagi anak-anaknya. Orangtua sering luput untuk mengajari anak mengenali perilaku para predator atau mengajarkan bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan mana yang tidak boleh disentuh.

“Anggapan bahwa menerima hadiah dari orang lain adalah hal yang wajar atau sudah seharusnya, membuat banyak orangtua dan anak yang tidak sadar bahwa mereka sudah masuk dalam jerat para predator atau kaum pedophile. Mereka akan memulai pendekatan dengan membuat anak merasa nyaman dengan memberi hadiah dan perhatian,” jelasnya.

Baca Juga:   Darurat Kekeraran Seksual, RUU PKS Harus Segera Disahkan

Jika tidak ditangani dengan baik, lanjutnya, para korban kekerasan seksual cenderung mengalami trauma berkepanjangan dan beberapa bahkan melakukan hubungan seks di luar nikah ketika mereka memasuki masa remaja.

“Oleh karena itu, perlu dilakukan psikoedukasi pada orangtua agar mereka dapat mengajarkan anaknya tentang perilaku yang benar dan salah. Mereka dapat mengantisipasi kalau ada hal yang dapat mengarah pada terjadinya kekerasan seksual,” imbuhnya.

 Penegakan Hukum Pada Pelaku Kejahatan Seksual Harus Dibenahi

Peminat anak asal Sumatera Utara, Zahrin Piliang mengatakan, isu kekerasan seksual yang dilontarkan oleh Komnas Perempuan hingga kemudian menjadi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Dewan Perwaklan Rakyat (DPR) Republik Indonesia patut dihargai.

“Karena, memang harus disadari, banyak korban kekerasan seksual adalah kaum perempuan, apalagi masih yang berstatus anak,” kata Zahrin yang pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut ini, Senin (5/4/2021).

Akan tetapi kata Zahrin, masalahnya ada pada hukum nasional di Indonesia yang tidak memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual itu. Akibatnya, korban kekersan seksual masih terus terjadi.

“Jadi, berpulang dari masih terjadinya kontroversi tentang RUU PKS. Namun, menurut saya yang patut segera dibenahi adalah penegakan hukum yang maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual itu. Dulu, almarhum Bismar Siregar, salah seorang hakim terbaik kita, menerapkan hukum maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual itu. Bahkan, memberi perspektif baru terhadap kasus tersebut. Putusan hakim BIsmar Siregar itu cukup membuat nyali pelaku kekerasan seksual itu ciut,” bebernya.

Namun, belakangan, kata Zahrin, aparat penegak hukum tak lagi membuat putusan hukum yang memberi efek jera bagi mereka yang berencana melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Dukungan RUU PKS Disahkan Terus Mengalir

Berdasarkan data catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual tahun 2018 sebanyak 5.280, tahun 2019 sebanyak 4.898, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Januari-Oktober 2020 sebanyak 659 kasus.

Baca Juga:   Tim Abdimas Profesor Mengabdi USU Perkenalkan Tepung Mocaf Pengganti Terigu

Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPPA tahun 2020 mencatat kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 6.177 kasus.

Berdasarkan data tersebut, dukungan terhadap RUU PKS agar segera disahkan dari berbagai kalangan terus mengalir. Mengingat, saat ini Indonesia berada pada kondisi darurat kekerasan seksual dengan jumlah kasus kekerasan seksual setiap tahun terus meningkat.

Salah satunya, The Body Shop®️ Indonesia, sebuah perusahaan yang percaya bahwa sebuah bisnis bisa memiliki peran lebih dari sekadar transaksi jualbeli, tetapi memiliki kapasitas untuk mengedukasi dan mendorong perubahan baik.

“Bagi kami, isu kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye Stop Sexual Violence karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Kami akan mengawal terus dengan semangat dan tekad perjuangan hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan,” kata Aryo Widiwardhono, selaku CEO The Body Shop®️ Indonesia pada webinar bertema “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia dari Kekerasan Seksual” melalui platform zoom, belum lama ini.

Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis mengatakan, RUU PKS ini merupakan investasi untuk masa depan yang lebih baik. Sebelumnya, kata Uni, FJPI dalam menyambut hari perempuan internasional telah menggelar webinar tanggal 6 Maret 2021 yang menghadirkan narasumber Mentri Luar Negeri Retno Marsudi dengan tema perempuan dan perdamaian.

“Mengutip pernyataan Menlu dalam webinar tersebut, Investing in women is investing for brighter future, maka RUU PKS ini adalah investing women, means investing for brighter feature,” sebut Uni. (*)