Scroll untuk baca artikel
KesehatanMedan

Dosen IKH Medan Beri Edukasi Tentang Bahaya Stunting Pada Baduta di Klinik Fina Sembiring

×

Dosen IKH Medan Beri Edukasi Tentang Bahaya Stunting Pada Baduta di Klinik Fina Sembiring

Sebarkan artikel ini

MEDAN-Sebagai upaya untuk mencegah stunting pada anak, dosen Institut Kesehatan Helvetia (IKH) Medan memberikan edukasi tentang bahaya stunting pada ibu-ibu yang memiliki anak bayii di bawah dua tahun (baduta) di wilayah klinik Fina Sembiring,  Kecamatan Medan Polonia.

Kegiatan tersebut merupakan kegiatan pengabdian masyarakat yang diketuai bidan Mayang Wulan, SST, MKM selaku Dosen Prodi Sarjana Kebidanan dan anggotanya yaitu, bidan Indah Sari Dewi, SST, M.Kes.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang mengusung tema tentang “Edukasi Bahaya Stunting Dan Upaya Pencegahan Stunting Pada Bayi di Bawah Dua Tahun (Baduta)” ini dilakukan pada Rabu, 10 Juli 2024 lalu. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menurunkan kejadian stunting di Indonesia khususnya di Kecamatan Medan Polonia.

Ketua tim, Mayang Wulan mengatakan, stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan bersifat antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan.

Dia menjelaskan, hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang pada balita.

Baca Juga:   Menurut Komisi III DPRD Medan, Proses Pengundian Pasar Aksara Sudah Dilakukan Terbuka dan Transparan

“Keadaan kesehatan yang buruk terkait gizi seperti stunting telah terbukti berdampak pada defisit perkembangan selama masa awal hingga pertengahan kanak-kanak. Seperti adanya    peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta lambatnya proses pertumbuhan kemampuan motorik dan mental,” katanya.

Selain itu, katanya, balita dengan stunting juga beresiko mengalami penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit  degeneratif  di masa yang akan datang.

“Kemudian stunting juga dapat berpengaruh pada gangguan bicara dan bahasa pada anak. Hal ini sering kali dikorelasikan dengan kualitas  anak  karena stunting berkaitan dengan kemampuan kognitif yang rendah,” ucapnya.

Mayang menambahkan, gizi buruk pada 1000 hari  pertama kehidupan anak dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat yang tidak dapat diubah (irreversible) pada saat mereka sudah dewasa, seperti gangguan  kognitif  yang  dapat mengurangi  kinerja pada saat  anak  telah dewasa.

“Stunting merupakan masalah kesehatan yang harus menjadi perhatian, karena hal tersebut dapat menjadi prediktor tantangan masa depan bangsa di berbagai sektor kehidupan  seperti  sektor ekonomi, pendidikan, sosial-politik, dan Kesehatan,” katanya.

Baca Juga:   Percepatan Penanganan Covid 19 Di Kecamatan Dievaluasi

Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) melaporkan prevalensi anak penderita stunting usia di bawah lima tahun (balita) Indonesia merupakan yang tertinggi kedua di Asia Tenggara. Prevalensinya mencapai 31,8% pada 2020. Prevalensi stunting tertinggi ada di Timor Leste sebesar 48,8%. Laos berada di posisi setelah Indonesia dengan prevalensi 30,2%. Kemudian, Kamboja berada di posisi empat dengan prevalensi stunting balita sebesar 29,9%. Filipina menyusul dengan tingkat prevalensi stunting balita sebesar 28,7%. Adapun, tingkat prevalensi anak penderita stunting terendah berasal dari Singapura.

Tingkat prevalensinya hanya 2,8%. Menurut World Health Organization (WHO) masalah Kesehatan masyarakat dianggap berat, bila prevalensi pendek adalah sebesar 30–39% dan serius, bila prevalensi pendek ≥40%. Terdapat dua provinsi prevalensi serius yaitu: 1. Nusa Tenggara Timur (40.3%) dan 2. Sulawesi Barat (40.0%) sedangkan 17 provinsi yang prevalensi stunting berat yaitu: 1. Kalimantan Tengah (39%), 2. Nusa Tenggara Barat (37,2%), 3. Sulawesi Selatan (36.8%), 4. Kalimantan Barat (36.5%), 5. Sulawesi Utara (36.4%), 6. Sulawesi Tengah (36.1%), 7. Aceh (35.7%), 8. Kalimantan Selatan (34.2%), 9. Kalimantan Utara (33.4%), 10. Papua Barat (33.3%), 11.Papua (32.8%), 12. Sulawesi Utara (32.4%), 13. Gorontalo (31.7%), 14. Lampung (31.6%), 15. Sumatera Barat (30.6%), 16.Kalimantan Timur (30.6%) dan  17.Maluku (30%).

Baca Juga:   Dosen IKH Medan Berikan Penyuluhan Dampak Pernikahan Dini Pada Remaja

“Pada saat tanya jawab, diketahhi ada ibu yang memiliki baduta mengaku tidak pernah mendapatkan edukasi mengenai stunting dari petugas kesehatan, setelah penyuluhan selesai dilaksanakan, pengetahuan ibu mengenai stunting pun meningkat mereka telah memahami apa yang dimaksud stunting, faktor resiko terjadinya stunting, bahaya stunting dan upaya pencegahan stunting pada anak,” jelasnya.

Kegiatan ini disambut baik oleh pemilik Klinik Fina Sembiring. Para peserta yang terdiri dari 25 orang tampak antusias mendengarkan dan mengajukan pertanyaan sehingga tarjalin komunikasi tanya jawab yang aktif.

“Kita berharap setelah kegiatan ini berlangsung ibu-ibu memahami dan berkomitmen untuk mencegah terjadinya stunting pada anak khususnya pada baduta,” ujarnya. (***)